Namundemikian, pro dan kontra tentang demokrasi dalam Islam masih terus berlanjut. Oleh karena itu, untuk mempertajam analisis kalian dalam menyikapi konsep demokrasi, ada baiknya kalian mengenali lebih lanjut pandangan-pandangan para ulama tentang hal tersebut. Share. May 9, 2022 by Mas Rafli Agama Pendidikan 0.DR. YUSUF AL-QARADHAWI DAN DEMOKRASIOleh Syaikh Sulaiman bin Shalih Al-KhurasyiDr. Yusuf al-Qaradhawi mendukung demokrasi seraya berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.“Kekuasaan yang terpilih” inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau “pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di terpilih itu tidak memiliki penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala. Kekuasaan ini juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang mempunyai kekuasaan menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah jalla Sya’ hanya boleh membuat hukum untuk diri mereka sendiri dalam hal yang diizinkan Allah Ta’ala saja. Artinya, hukum yang mengatur kepentingan dunia mereka yang tidak dimuat di dalam suatu nash tertentu, atau nash yang mengandung beberapa makna kemudian mereka memilih salah satu makna dan menggunakannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah syari’at. Dalam hal itu terdapat medan yang sangat luas sekali bagi para pembuat karena itu, harus dikatakan “Sesungguhnya rakyat merupakan sumber kekuasaan dalam batas-batas syari’at Islam.” Sebagaimana dalam Majelis Tasyri’ Badan Legislatif harus ada komisi khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu mengambil kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai berbagai ketetapan undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dan penyimpangannya dari syar’iat, walaupun sistem demokrasi sendiri tidak mensyaratkan hal tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan bahwa agama negara yang dianut adalah para calon wakil rakyat juga harus benar-benar memenuhi atau memiliki bekal yang kuat dalam agama dan akhlak serta beberapa ketentuan lainnya, misalnya keahlilan dalam bidang kepentingan umum dan lain sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat tidak boleh dari seorang penjahat atau pemabuk atau suka meninggalkan shalat atau orang yang menganggap enteng sana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu Mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di Amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah Ta’ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur’an melalui lisan Yusuf Alaihissallam, di mana dia mengatakanقَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ“Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan. “ [Yusuf /12 55]Juga dalam kisah Musa Alaihissallam, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua rentaإِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ“Karena sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. “ [Al-Qashash/28 26]Dengan demikian, kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilannya.[1]Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan “Anehnya, sebagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu yang jelas-jelas merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang nyata, sedang mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai kepada substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan antara kaidah yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan hukum terhadap sesuatu merupakan bagian dari pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa menghukumi sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah salah, meskipun secara kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia merupakan lemparan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, di dalam hadits ditetapkan bahwa seorang hakim yang memberi keputusan dengan didasarkan pada ketidaktahuan, maka dia berada di neraka, sebagaimana orang yang mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan atau menghukumi dengan yang apakah demokrasi yang didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di dunia, dan diperjuangkan oleh banyak orang, baik di dunia belahan barat maupun timur, di mana ada sebagian bangsa bisa sampai kepadanya setelah melalui berbagai pertempuran sengit dengan penguasa tirani, yang menelan banyak darah dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan korban manusia. Sebagaimana yang terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya, dan yang banyak dari pemerhati Islam menganggapnya sebagai sarana yang bisa diterima untuk meruntuhkan kekuasaan monarki, serta memotong kukukuku politik campur tangan, yang telah banyak menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi ini mungkar atau kafir, sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa orang yang tidak memahami sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!”Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.”[2]Sesungguhnya Islam telah mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa kaidah yang menjadi pijakan substansinya, tetapi Islam menyerahkan berbagai rinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka, kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman dan tempat, dan juga pembaharuan keadaan demokrasi adalah, bahwa ia mengarahkan di sela-sela perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman dan kaum tirani serta para raja kepada beberapa bentuk dan sarana, yang sampai sekarang dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk menjaga rakyat dari penindasan kaum ada larangan bagi umat manusia, para pemikir dan pemimpin mereka untuk memikirkan bentuk dan cara lain, barangkali cara baru itu akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan merealisasikannya ke dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil beberapa hal dari cara-cara demokrasi guna mewujudkan keadilan, permusyawaratan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta berdiri melawan kesewenangan para penguasa yang angkuh di muka bumi antara kaidah syari’at yang ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang menjadikan hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia itu menjadi wajib, dan bahwasanya tujuantujuan syari’at yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu mempunyai sarana pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat menggapai tujuan ada satu syari’at pun yang melarang penyerapan pemikiran teori atau praktek empiris dari kalangan non-muslim. Karena, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran “penggalian parit”, padahal strategi tersebut berasal dari strategi bangsa itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah juga mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar “dari orang-orang yang mampu membaca dan menulis” untuk mengajarkan baca tulis anak-anak kaum meski mereka itu musyrik. Dengan demikian, hikmah itu adalah barang temuan orang mukmin, di mana saja dia menemukannya, maka dia yang paling berhak beberapa buku, saya telah mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam yang jelas dan tidak juga kaidah syari’at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya.”[3]Ungkapan seseorang yang mengatakan, bahwa demokrasi berarti kekuasaan rakyat oleh rakyat dan karenanya, harus ditolak prinsip yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah semata, maka ungkapan semacam itu sama sekali tidak dapat para penyeru demokrasi tidak perlu harus menolak kekuasaan Allah atas manusia. Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap setiap yang dimaksudkan dengan demokrasi oleh mereka adalah memilih pemerintah oleh rakyat sesuai dengan hati nurani mereka, serta memantau tindakan dan kebijakan mereka, serta menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan undang undang rakyat, atau dengan ungkapan Islam “Jika mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat,” dan mereka juga mempunyai hak untuk menurtmkan penguasa jika melakukan penyimpangan dan berbuat zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau peringatan. “[4]Sesungguhnya undang-undang menetapkan, di samping berpegang pada demokrasi, bahwa agama negara adalah Islam dan bahwasanya syari’at Islam adalah sumber hukum dan undangundang, dan yang demikian itu merupakan penegasan akan kekuasaan Allah atau kekuasaan syari’at-Nya, dan kekuasaan itulah yang memiliki kalimat juga untuk menambahkan pada undang-gundang materi yang secara tegas dan lantang menetapkan, bahwa setiap undang-undang atau sistem yang bertentangan dengan syari’at yang baku dan permanen, maka undang-undang itu adalah bathil.”[5]Tidak ada ruang untuk pemberian suara dalam berbagai hukum pasti dari syari’at dan juga pokok-pokok agama serta halhal yang wajib dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara itu pada masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam hal tersebut, misalnya pemilihan salah satu calon yang akan menempati suatu jabatan, meskipun itu jabatan kepala negara, dan seperti juga pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas jalan raya atau untuk mengatur bangunan tempat perdagangan atau industri atau rumah sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih disebut sebagai “mashalihul mursalah.” Atau seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau tidak, mengharuskan pembayaran pajak tertentu atau tidak, atau mengumumkan keadaan darurat atau tidak, atau membatasi jabatan Presiden, dan pembolehan membatasi masa pemilihan atau tidak, demikian banyak pendapat yang berbeda dalam masalah ini, maka apakah pendapat itu akan ditinggal menggantung begitu saja, apakah ada tarjih tanpa murajjah yang diunggulkan? Ataukah harus ada murajjah?Sesungguhnya logika akal, syari’at dan realitas menyatakan harus ada murajjah yang diunggulkan, dan yang diunggulkan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah terbanyak. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang, dan dalam hadits disebutkan“Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia syaitan lebih jauh dari dua orang.”[6].[7]Ungkapan orang yang menyatakan, bahwa tarjih pengunggulan satu pendapat itu adalah untuk yang benar meskipun tidak ada seorang pun pendukungnya. Adapun yang salah harus ditolak meskipun didukung oleh 99 dari 100. Ungkapan ini hanyalah tepat pada hal-hal yang ditetapkan oleh syari’at secara gamblang, tegas dan terang yang menyingkirkan perselisihan dan tidak mengandung perbedaan atau menerima pertentangan, dan hal itu hanya sedikit sekali. Itulah yang dikatakan Jama’ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran meski engkau hanya sendirian.[8]Sesungguhnya petaka pertama yang menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah sikap mengabaikan terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan “Khilafah Rasyidah” menjadi “kerajaan penindas” yang oleh sebagian sahabat disebut “kekaisaran”. Artinya, kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin dari berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah kepadanya. Padahal semestinya mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari berbagai kemaksiatan dan perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya negara yang menimpa Islam, umatnya, serta dakwahnya di zaman modern ini tidak lain adalah akibat dari pemberlakuan pemerintahan otoriter yang bertindak sewenang wenang terhadap umat manusia dengan menggunakan pedang kekuasaan dan emasnya, dan tidaklah syari’at dihapuskan, skularisme diterapkan, serta umat manusia diharuskan berkiblat ke barat melainkan dengan paksaan, memakai besi dan api. Tidaklah dakwah Islam dan gerakannya dipukul habis-habisan serta tidak juga para penganut dan penyerunya dihajar dan dikejar-kejar melainkan oleh kekuasaan otoriter yang terkadang tanpa kedok dan terkadang dengan menggunakan kedok demokrasi palsu yang diperintahkan oleh kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan atau diarahkan dari balik layar.”[9]Di sini saya Dr. Yusuf al-Qaradhawi perlu menekankan, bahwa saya bukan termasuk orang yang suka menggunakan kata-kata asing, seperti misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk mengungkapkan pengertian-pengertian jika suatu istilah telah menyebar luas di tengah-tengah umat manusia dan telah dipergunakan oleh banyak orang, maka kita tidak perlu menutup pendengaran kita darinya, tetapi kita harus mengetahui maksud istilah tersebut, sehingga kita tidak memahaminya secara keliru, atau mengartikannya secara tidak benar atau yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang membicarakannya, dengan begitu hukum kita terhadapnya adalah hukum yang benar dan seimbang. Meski istilah itu datang dari luar kalangan kita, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, poros hukum itu tidak pada nama dan sebutan, tetapi pada kandungan dan substansinya.”[10]Saya Dr. Yusuf al-Qaradhawi termasuk orang yang menuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam, sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa harus dijebloskan ke dalam penjara yang gelap atau dihukum di atas tiang gantungan.”[11]Berkenaan dengan hal tersebut, dapat penulis katakan “Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga membela demokrasi dalam menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan tirani yang berbagai keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh al-Qaradhawi dan Jama’ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi berusaha keras mempertahankan demokrasi dengan segenap daya dan lebih baik dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, menegakkan hukum Islam yang di dalamnya terdapat konsep musyawarah Islami yang sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan demokrasi ala Barat meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan kita menyaring demokrasi ini, lalu menambahkan beberapa hal yang sesuai dengan agama kita atau mengurangi beberapa hal darinya yang memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita harus menyebutnya demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura permusyawaratan demikian, demokrasi Barat tidak disebut demikian kecuali diambil dengan seluruh kandungannya. Tetapi, jika diambil dengan melakukan penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal itu secara otomatis menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut lagi sebagai demokrasi. Dalam hal ini, perumpamaannya adalah sama dengan khamr jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada saat itu tidak lagi disebut sebagai khamr, tapi disebut cuka. Demikian pula yang harus dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru kepada penegakan hukum Islam dengan menerapkan sistem syura permusyawaratan yang adil, daripada mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain, yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.[12]KOMENTAR JAMAL SULTHAN ATAS FATWA DR. YUSUF AL-QARADHAWI. Ustadz Jamal Sulthan hafizhahullah mempunyai komentar yang sangat baik terhadap fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam hal demokrasi. Di sini saya bermaksud untuk menukilnya agar bisa diambil manfaat oleh para pembaca, dan agar para pembaca mengetahui titik-titik ketidakbenaran dari ucapan Dr. Yusuf al Sulthan mengatakan “Masalah ini sangat penting sekali, dan ketika yang mengungkapkannya adalah seorang pakar fiqih sekaliber Dr. Yusuf al-Qaradhawi, maka masalahnya semakin bertambah penting, belum lagi mimbar yang menjadi tempat penyebaran fatwa yang dibaca tidak kurang dari satu juta orang berbahasa Arab. Maka pada saat itu, tidak diragukan lagi bahayanya akan lebih besar, dan dia mempromosikan dirinya kepada setiap penulis dan pemilik dalam format yang disebarluaskan tidak mempunyai tema sama sekali dan hampir tidak mempunyai nilai sama sekali, cukuplah bagi anda ketika anda dihadapkan suatu ungkapan yang anda bisa mengatakan “itu benar,” bersikap sama seperti halnya ketika anda tidak bisa mengatakan “Itu salah!” Namun, sesungguhnya di sana ada suatu kerancuan yang aneh, dan beberapa hakikat obyektif dan histroris yang tidak diketahui Dr. Yusuf al-Qaradhawi, menyebabkan pembicaraannya terjadi kekeliruan, yang menuntut saya mengkaji cukup lama untuk mendiskusikan “segi dan pertimbangan” fatwa dengan mengharapkan keluasan hati pemberi fatwa tersebut, dan kita tahu kesungguhan beliau untuk memperoleh kejelasan kebenaran, dimana pun berada serta perhatiannya yang tulus insya Allah terhadap berbagai masalah besar yang membuat sibuk generasi muslim pada zaman sekarang fatwa tersebut ditanyakan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ustadz Fahmi “Apakah demokrasi itu kufur?” Maka, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi membuka pembicaraannya dengan mengatakan “Sesungguhnya substansi demokrasi adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan. Rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui, dan itulah substansi demokrasi.”Kemudian Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari “Realitas menunjukkan, bahwa orang yang memperhatikan secara seksama substansi demokrasi, maka dia akan mendapatkan bahwa ia termasuk dari konsep Islam”Pendahuluan inilah yang menjadi kesalahan pertama dan substansial yang mengakibatkan fatwanya salah secara Yusuf al-Qaradhawi telah menetapkan, bahwa substansi demokrasi adalah pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka… dan seterusnya. Inilah salah satu produk pokok dari berbagai produk demokrasi atau salah satu tampilan dari berbagai penampilan demokrasi, tetapi itu bukan substansi demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Namun, demokrasi secara substansial adalah penolakan terhadap teokrasi, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan pemerintahan atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu menurut perjalanan sejarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama, hukum atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan kata lain, kita bisa katakan bahwa demokrasi itu adalah sisi lain dari sekularisme, dan di antara dampaknya demokrasi adalah meniadakan perwalian masing-masing individu umat manusia dari pundak masyarakat. Sebab, jika kita menolak perwalian agama dan Tuhan untuk kepentingan rakyat, maka semua perwalian di bawahnya sudah pasti akan tertolak. Dari sini lahirlah berbagai sarana dan sistem yang mengatur seluk beluk masyarakat, yang mencegah munculnya kekerasan, penindasan dan kesewenangan dalam bentuk apa pun, dan itu berlangsung setelah negara sipil dengan para pemikir dan pendukungnya berhasil merealisasikan kemenangan akhir atas gereja dan para tokoh agama serta berhasil mencopot kekuasaan dari mereka, seperti yang diketahui oleh setiap pengkaji sejarah Eropa antara dampak dari kemenangan akhir bagi gerakan demokrasi ini adalah terhapusnya sifat kesucian dari semua posisi, masalah dan makna, selama tidak ditetapkan oleh rakyat sebagai sesuatu yang suci. Yang haram adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai haram, sedangkan yang halal adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai halal, dengan menutup mata dari setiap referensi yang lain, baik yang bersifat religius maupun yang lainnya. Sebab, jika anda menetapkan bahwa di sana terdapat referensi syari’at yang berada di atas manusia atau harus didahulukan sebelum pendapat rakyat, maka dengan demikian anda telah menggugurkan dasar demokrasi. Karena, jika anda mengatakan, misalnya “Sesungguhnya masalah ini berdasarkan nash al-Qur’an, tidak boleh dilakukan oleh manusia, maka dengan demikian, anda telah menjadikan hukum hanya pada Allah Ta’ala semata, bukan ada pada rakyat. Selama kekuasaan dan hukum ditarik dari rakyat, maka berakhirlah kisah demokrasi itulah kisah demokrasi secara ringkas dan ini pula yang menjadi substansinya, yang diketahui secara pasti oleh Ustadz Fahmi Huwaidi dan aliran pemikirannya. Dengan demikian, apakah kita bisa mengatakan seperti yang dikatakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Barangsiapa yang memperhatikan secara seksama terhadap substansi demokrasi, niscaya dia akan mendapatkan bahwa demokrasi termasuk dari konsep Islam”. Atau kita akan mengatakan seperti yang dikatakannya pula “Islam telah mendahului demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pijakan bagi substansinya, hanya saja Islam menyerahkan rinciannya pada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan ajaran agama mereka, kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka”Yang tampak jelas sekali dari fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa dia menggambarkan demokrasi dengan gambaran tertentu yang dia angan-angankan dan impikan, lalu dia mengeluarkan fatwanya berdasarkan pada khayalan yang mempermainkan angan-angannya, bukan pada hakikat sejarah demokrasi dan obyektivitas yang membentuk istilah demokrasi dalam pemikiran manusia hal yang sangat jelas menunjukkan hal tersebut adalah ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwanya “Dan ungkapan orang yang mengatakan bahwa demokrasi berarti pemerintahan yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga ada keharusan menolak prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah, adalah ungkapan yang sama sekali tidak dapat diterima, karena menyuarakan demokrasi tidak harus menolak kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah atas semua umat manusia. Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan yang menindas rakyat, baik itu penguasa zhalim maupun diktator.”Sebenarnya, saya Jamal Sulthan belum memahami benar ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan “Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi, yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.” Apakah dia pernah melakukan penelitian yang menghasilkan hakikat tersebut? Jika lawannya mengatakan “Sesungguhnya hal itu selalu terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi,” lalu siapa yang akan menilai dan membenarkan salah satu dari kedua ungkapan tersebut ?Sesungguhnya fatwa syari’at memerlukan adanya ketelitian dan keakuratan dalam ucapan, lebih dari sekedar ungkapan yang hanya dilandasi perasaan misalnya “Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit” dst..ed. Saya sangat memaklumi Dr. Yusuf alQaradhawi dalam hal kesungguhannya mempertahankan nilainilai keadilan, kebebasan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta kehormatan mereka. Dalam hal itu, orang seperti dia dan saya mengetahui betapa kejam cambuk-cambuk para algojo, dan betapa menyeramkannya pula penjara para penindas. Namun demikian, pembicaraan masalah keadilan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia merupakan suatu hal, sedangkan pengaturan istilah pemikiran politik untuk memberlakukan hukum syari’at terhadapnya merupakan hal lain. Sebagaimana realitas terus berada seperti sediakala tidak berubah seperti yang saya duga. Kita perlu juga merenungi ucapan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Orang muslim yang menyerukan demokrasi pada hakikatnya menyeru kepadanya sebagai satu bentuk pemerintahan, yang dapat mewujudkan prinsip-prinsip politik Islam dalam pemilihan pemimpin, penetapan musyawarah dan loyalitas, serta penegakan amar ma’ruf nahi munkar, melawan kezhaliman, menolak kemaksiatan, khususnya jika sampai pada kekufuran yang jelas yang telah ada bukti dari Allah.”Di sini, saya setuju sekali dengan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai kriteria yang dikemukakannya mengenai manhaj bagi pemerintahan Islam. Tetapi, apakah yang mendorong anda untuk meletakkan stempel demokrasi pada perbincangan ini dan manhaj tersebut? Apakah sebenarnya kesucian yang dikandung oleh istilah “buatan Barat, perkembangan, sejarah dan pertikaiannya” untuk anda pertahankan dengan mati-matian dan memperindah penampilannya di hadapan kaum muslimin? Hal itu mengingatkan kita terhadap apa yang meliputi akal pikiran kaum muslimin pada tahun lima puluhan dan enam puluhan sekitar istilah “sosialisme “, sehingga mereka menjadikan sosialisme dan Islam dua sisi satu mata uang. Pengalaman yang sama juga kembali terjadi sekali lagi pada istilah demokrasi bukan apa yang anda rinci berdasarkan analogi Anda sendiri, atau dirinci oleh orang lain. Tetapi demokrasi merupakan satu kesatuan sistem untuk memelihara bangunan sosial. Terserah anda mau menerimanya atau menolaknya, lalu mencari manhaj lain yang melahirkan bagi anda satu istilah lain yang orisinil yang sesuai dengan `aqidah, agama, sejarah dan kemanusiaan kita boleh menerima istilah tersebut disertai dengan beberapa penyesuaian terhadapnya agar sejalan dengan lingkungan kita, lalu bagaimana pendapat anda mengenai istilah teokrasi, atau yang disebut dengan “pemerintahan berdasarkan ketuhanan”. Kita hanya akan menjauhkan diri dari monopoli para tokoh agama terhadap kekuasaan atas nama perwakilan langit sebagaimana yang diketahui oleh sejarah gereja Eropa, dan tinggallah bagi kita, yaitu menjadikan hukum Allah yang berkuasa atas umat manusia dan membatasi perundang-ungangan masyarakat. Pada saat itu, apakah kita bisa mengatakan bahwa substansi teokrasi yaitu “hukum Allah” adalah Islam?!Dengan tolok ukur yang sama, jika anda mengatakan “Sesungguhnya demokrasi itu dari Islam,” maka dibenarkan pula untuk mengatakan “Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam!!!”Sedangkan kita akan mengatakan “Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya adalah istilah Eropa yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan budaya Barat, hal itu tidak memberikan manfaat bagi kita sebagai kaum muslimin. Sebab, Islam tidak mengenal pemerintahan pemuka agama, sebagaimana Islam juga tidak mengenal istilah “surat penebus dosa”, dan tidak pula mengenal istilah pertikaian antara negara sipil dan gereja, atau antara agama dan negara. Karena, Islam sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan berbeda dari Kristen sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan. Hal itu memperlihatkan kepada kita secara pasti perbedaan berbagai istilah pemikiran, politik, dan metodologi antara keduanya Islam dan Kristen.Permasalahannya di sini adalah, bahwa sebagian kaum muslimin berkhayal bahwa hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, hak suksesi kekuasaan dan larangan melakukan penindasan di muka bumi merupakan hal-hal yang diperjuangkan oleh sistem demokrasi bagi masyarakat, di mana tidak mungkin bagi mereka untuk menggambarkan prinsip-prinsip ini dapat terealisasi di bawah payung istilah lain dalam Islam. Yang demikian itu merupakan satu kesalahan yang sangat berbahaya. Sesungguhnya hak-hak dan prinsip-prinsip kemanusiaan itu hanya sekedar dampak dari kelahiran sekulerisme atau demokrasi di masyarakat Eropa. Bersamaan dengan itu mungkin juga memproduksinya, memeliharanya, dan memberlakukannya di masyarakat lain tanpa melalui jalan sekularisme atau dominasi pemikiran Barat atas berbagai aliran pemikiran dan politik dalam masyarakat kontemporer, dan tirani yang ditanamkan oleh Eropa ke dalam akal dan jiwa masyarakat dunia ketiga yang di antara mereka adalah sebagian kaum muslimin, tidak meninggalkan sedikit kesempatan pun bagi akal non-Eropa untuk memikirkan orisinalitas atau mengkhayalkan karya pemikiran atau metodologis yang tidak terpengaruh oleh “kutub Eropa”, serta berbagai manhaj dan istilahnya. Maka sebagian besar usaha-usaha “dunia ketiga” dalam bidang pemikiran, metodologi dan istilah -yang di antaranya adalah fatwa ini-, hanyalah sekedar catatan kaki atau catatan akhir atas matan isi yang berasal dari Eropa. Padahal kita -di lingkungan Islam-, hati nurani Islami menolak kecuali mencatat sikap kehati-hatiannya yang malu-malu itu terhadap demokrasi, sedangkan berpura-pura tidak mengetahui bahwa sikap kehati-hatian itu bermakna pada kenyataan obyektifnya sebagai penolakan terhadap demokrasi, tetapi kita masih terus ngotot untuk mempertahankan istilah tersebut, meskipun pada hakikatnya, secara obyektif, telah Partai Kupu-Kupu Itali -Partai para pelacur- memaksakan dirinya masuk ke dunia partai, dan sebagian anggotanya masuk parlemen Itali, agar “suara pelacur” cukup untuk membuat berbagai ketetapan undang-undang baru di dalam masyarakat, jika semua suara tidak mau diakui oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa Partai Kupu-Kupu ini mengaspirasikan hak demokrasinya. Jika anda menolak keberadaannya atau menolak masuknya ke parlemen atau menolak keikutsertaannya dalam penghitungan dengan suara anggotanya, maka anda tidak demokratis, dan tindakan ini melawan demokrasi. Itulah hakikat obyektif, yang tidak ada alasan bagi anda terhadapnya, serta tidak ada tempat melarikan diri dari bahwa anda menolak hal tersebut, dan saya pun demikian. Tetapi, makna hal itu adalah bahwa kita menolak demokrasi sebagai bingkai sistem bagi pemerintahan di suatu negara Islam. Tinggallah bagi saya dan anda mencarikan istilah baru dan sistem baru, yang menyatukan antara agama dan dunia, syari’at dan masyarakat, keadilan dan moral, kebebasan dan nilai-nilai, hak Allah dan hak hamba, dan semuanya itu adalah aspek-aspek yang tidak mempunyai hubungan dengan anda merasa kesal tuanku Dr. Yusuf al-Qaradhawi, jika masyarakat Barat menolak mengakui istilah dan sistem baru anda. Karena mereka memang menolak agama anda pada dasarnya, sebagaimana logika subyektif dari sistem demokrasi yang mengatur kehidupannya, mengharuskannya menerima pluralisme. Yang demikian itu, jika kita berhusnuzhzhan berprasangka baik terhadap kesungguhan mereka dalam memegang segala macam prinsip, apalagi yang menyangkut masalah hubungan antar fatwa Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi tentang demokrasi, masih terdapat kerancuan lain, yaitu dalam usahanya melegitimasi beberapa sisi kekuasaan eksekutif dalam menerapkan demokrasi, di mana sang Doktor mempromosikannya kepada pemahaman beberapa pemerintah Islam. Lebih baiknya, kita simak apa yang dikatakan Doktor, kemudian simak juga komentar kami setelah Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Di antara dalil-dalil menurut kelompok pemerhati Islam yang menunjukkan demokrasi adalah prinsip hasil import dan tidak ada hubungannya dengan Islam, adalah bahwa ia berdasarkan pada suara mayoritas, serta menganggap suara terbanyak merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar terhadap salah satu dari berbagai masalah yang berbeda-beda dengan menggunakan pemungutan suara terbanyak dalam demokrasi sebagai pemutus dan referensi. Maka, pendapat mana pun yang memenangkan suara terbanyak secara absolut, atau terbatas pada beberapa kesempatan, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun terkadang pendapat itu salah dan Islam tidak menggunakan sarana seperti itu dan tidak mentarjih mengunggulkan suatu pendapat atas pendapat yang Iain karena adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan tersebut; Apakah ia salah atau benar? Jika benar, maka ia akan memberlakukannya, meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada seorang pun yang menganutnya. Jika salah,. maka ia akan menolaknya, meskipun bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang nash-nash al-Qur’an menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan dan selalu mengiringi para Thaghut, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala iniوَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.”[Al-An’aam/6 116]Juga firman-Nyaوَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” [Yusuf/12 103]Di dalam al-Qur’an, dilakukan pengulangan berkali-kali terhadap firman-Nya berikut iniوَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [Al-A’raaf/7 187]Selanjutnya, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari hal tersebut dengan mengatakan “Ungkapan tersebut sama sekali tidak dapat diterima, sebab didasarkan pada suatu hal yang salah”Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim; yang mayoritas mereka dari kalangan orang orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan AllahKemudian, sesungguhnya terdapat beberapa hal yang tidak masuk ke dalam kategori voting dan tidak dapat diambil suaranya, karena ia termasuk bagian dari hal yang sudah tetap dan permanen yang tidak dapat diubah kecuali jika masyarakat itu berubah sendiri dan tidak menjadi muslim tidak ada tempat bagi voting dalam berbagai ketetapan syariat yang sudah pasti dan juga pokok-pokok agama. Voting itu hanya pada masalah-masalah ijtihad saja yang bisa mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat mengenai hal tersebut, jika terdapat berbagai pendapat yang berbeda-beda mengenai beberapa masalah. Lalu, apakah masalah-masalah itu akan dibiarkan bergantung begitu saja? Dan apakah ada pemilihan pendapat tanpa adanya yang diunggulkan? Ataukah perlu adanya yang diunggulkan?Logika akal, syari’at dan realitas menyatakan perlu adanya orang yang dimenangkan. Yang diutamakan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang. Dalam hadits pun sudah ditegaskan ,”Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia syaitan lebih jauh dari dua orang.”Ditegaskan pula, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Bakar dan `Umar radhiallahu `anhuma “Jika kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan menentang kalian berdua.”Demikian yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas memerlukan adanya perincian, karena di dalamnya terdapat kerancuan dan beberapa hal yang saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi menempatkan pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan membuka ucapannya bahwa mereka berpendapat “Demokrasi adalah ajaran yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan dengan Islam”-Apakah Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran yang tidak diimport? Dan bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan tumbuh di dalam buaian sejarah Islam disertai berbagai perubahan peradaban, manhaj, agama dan politik? Lalu kapan hal itu terjadi? Di zaman apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sampai pertengahan abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum muslimin? Serta apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa bersejarah dan menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi selama kurun waktu yang begitu panjang?Saya kira, Dr. Yusuf al-Qaradhawi tidak seharusnya membuka ucapannya dengan kalimat tersebut. Sebab, siapa pun dari kaum muslimin tidak akan dapat mengaklaim bahwa demokrasi itu merupakan ajaran yang tidak diimport dari sistem Eropa. Sesungguhnya yang menjadi perbedaan pendapat adalah sikap Islam terhadap demokrasi itu. Ini yang pertama!Adapun ungkapan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim, yang mayoritas mereka dari kalangan orangorang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah.”Yang demikian itu secara obyektif adalah kesalahan yang jelas. Sebab, demokrasi tidak mempersoalkan identitas, keimanan, kekufuran dan jenis nilai yang dibawa oleh seseorang, karena semuanya itu sama, baik itu orang alim yang bertindak sewenang-wenang, Muslim dan Nasrani. Jika saya katakan “Bahwa hak menerapkan demokrasi di masyarakat muslim tergantung pada orang muslim yang taat beragama, dan tidak masuk di dalamnya orang yang tidak taat beragama atau yang mempunyai identitas tidak jelas atau pemeluk Nasrani, Yahudi atau Atheis. Maka, artinya anda telah berbicara tentang sistem lain dan manhaj yang lain pula. Jelas, itu bukan lagi demokrasi.”Demikian juga dengan ungkapan Syaikh Dr. Yusuf ai-Qaradhawi “Kemudian, di sana terdapat beberapa masalah yang tidak masuk ke dalam voting dan tidak pula diperlukan pemungutan suara terhadapnya, karena semua itu merupakan bagian dari hal-hal yang sudah baku dan tidak dapat dilakukan perubahan, kecuali jika masyarakat itu mengalami perubahan sendiri dan tidak menjadi muslim lagi”Perbedaan yang dianggap aneh oleh Syaikh Dr. Yusuf alQaradhawi di sini adalah bahwa suatu masyarakat, jika mengalami perubahan dan tidak menjadi muslim lagi, maka dimungkinkan menjadi masyarakat yang demokratis. Tetapi, jika masih tetap menjadi masyarakat muslim, maka dapat dipastikan ia tidak akan demokratis, karena mempunyai sistem lain berupa hal-hal yang sudah baku, `aqidah dan nilai-nilai yang tidak mungkin untuk ditundukkan pada pendapat sini, kita kembali lagi kepada pokok kesalahan pada konsepsi Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi terhadap wujud dan substansi demokrasi. Di dalam demokrasi, rakyat merupakan tempat kembali sekaligus penguasa, pembuat ketetapan, dan penentu satu-satunya. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal yang tidak akan dapat ditundukkan pada voting atau tidak masuk pada ruang voting, maka dengan demikian anda tidak demokratis. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal pasti dan permanen, baik yang menyangkut masalah pemikiran, agama, moral, ekonomi atau politik yang tidak akan dapat diubah, maka pada saat itu anda juga tidak juga ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Jadi , tidak ada ruang voting dalam berbagai ketetapan syari’at yang sudah pasti,” maka ungkapan itu pun sama sekali tidak demokratis. Sebab, pengakuan anda bahwa di sana terdapat syari’at yang memerintah di atas kehendak dan kemauan manusia, maka yang demikian itu sebagai pukulan telak terhadap isi dan substansi sekarang gambarannya sudah menjadi jelas dalam pandangan Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fahmi Huwaidi dan alirannya? Saya sependapat dengan mereka dalam setiap ketentuan, batasan dan bingkai yang diberikan oleh Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi bagi politik masyarakat muslim, tetapi kesalahan mendasar adalah mereka menolak -dan saya tidak tahu mengapa- kecuali dengan meletakkan simbol demokrasi pada manhaj Allah dan sistem politik Islam. Apakah mereka menyangka, bahwa mereka telah memperindah Islam dan manhajnya dengan tindakannya meletakkan slogan hasil impor dari Barat ini?Sesungguhnya Islam, wahai para sahabatku, lebih baik, lebih tinggi, suci dan lebih lurus dari demokrasi dan dari segala konsep buatan manusia untuk mengatur politik masyarakat. Demi Allah, saya katakan itu tidak hanya sekedar untuk membela agama, atau sekedar militansi iman, tetapi yang demikian itu merupakan keyakinan yang teguh dari perjalanan panjang selama melakukan kajian, pertimbangan dan perenungan perhatian terhadap berbagai perubahan sejarah kemanusiaan terdahulu maupun modern sekarang sekalian, sesungguhnya dengan demikian itu kalian telah menimbulkan kegoncangan, keraguan dan kerancuan berpikir dalam otak dan hati nurani generasi muda pemegang panji kebangkitan Islam yang diharapkan kalian tidak mencari suatu pemikiran orisinil konstruktif yang berasal dari Islam, yang dengannya kalian membina proyek Islam yang fundamental untuk kebangkitan dan untuk mengatur aktivitas sosial Islami yang baru? Apakah tugas seorang ahli fiqih atau pemikir muslim sekarang ini harus menunggu produk dari Barat, baik pemikiran maupun materi, untuk ditempelinya dengan label tradisional “Disembelih dengan cara Islami?”Wahai saudaraku, apakah Islam tidak mengenal sistem, masyarakat, peradaban, teori-teori politik dan pola-pola manajemen sebelum munculnya demokrasi? Dan apakah Islam serta masyarakatnya tidak mengetahui keadilan, kasih sayang, kebebasan, pencerahan, peradaban, permusyawaratan, pluralitas pemikiran dan paham, dan lain-lainnya, sebelum menculnya demokrasi?Jika Islam mengetahui semuanya itu, maka beritahukan hal itu kepada kami, lalu kembalikan bentuk dan formatnya, lalu kembangkanlah sistem dan kelembagaan, telitilah aturan-aturan dan sarana untuk merealisasikannya, serta lahirkanlah apa yang kalian butuhkan darinya berupa istilah-istilah orisinil dan simbol-simbol Islami, yang mengekspresikan keistimewaan manhaj Islam dalam pemerintahan, daripada melakukan penjiplakan pemikiran, paham, dan istilah yang hina dan memalukan di hadapan kancah pemikiran Eropa Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, demokrasi dan sekularisme merupakan dua sisi mata uang Eropa. Orang yang mengatakan selain itu kepada Anda, berarti dia telah membohongi Anda. Dalam pandangan Islam, kedua hal tersebut demokrasi dan sekularisme ditolak. Tetapi penolakan terhadap keduanya tidak berarti kita menolak sebagian dari produknya yang hampir menyerupai nilai-nilai Islam. Merupakan hak rakyat untuk memilih pemimpin atau penguasa dan hak mereka pula untuk melengserkannya jika menyimpang, atau mempertanyakan kepadanya jika melakukan kesalahan, juga mempunyai kebebasan berpendapat, hak berbeda pendapat, menjaga kehormatan manusia, hak perputaran kekuasaan, dan lain-lainnya. Semuanya itu merupakan pilar pilar pokok manhaj Islam dalam pemerintahan yang ditetapkan melalui nash Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, akan tetapi semuanya itu merupakan pilar-pilar yang berdiri di atas dasar-dasar idealis dan aqidah, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan dan bingkai-bingkai sistematis, yang berbeda total dari dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan yang dimainkan oleh demokrasi sebagai sistem bagi politik masyarakat Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, bukan itu peranan Anda dan bukan itu pula problema Anda, semuanya itu merupakan tindakan ninabobo yang dimunculkan oleh para propagandis pencerahan yang mempunyai pemikiran berlebihan, yang mereka tidak mengemban tanggung jawab dan kebangkitan umat, mereka tidak mengetahui nilai agama mereka, juga tidak memahami bahwa mereka mengemban risalah Islam bagi seluruh alam Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, fatwa Anda telah menyebar ke seluruh belahan bumi, yang telah dibaca dan diketahui oleh sebagian besar kaum terpelajar. Saya meminta kepada Anda dengan penuh kesungguhan, “agar Anda menjelaskannya bagi umat manusia dan tidak menyembunyikannya,” supaya mencermati kembali apa yang telah Anda tetapkan dalam masalah ini. Jika Anda mendapatkan kesalahan pada fatwa Anda, maka jelaskan kesalahan itu kepada umat manusia. Anda mestinya lebih adil daripada sekedar menolak kebenaran jika Anda mengetahuinya. Jika apa yang saya katakan itu salah atau menyimpang, Jelaskanlah kepada saya dan kepada umat manusia, mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini. Segala puji bagi Allah pada permulaan dan akhirnya, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah semata”[13]Perlu penulis katakan “Oleh karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi percaya kepada demokrasi, maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia akan percaya terhadap segala resikonya, yaitu munculnya berbagai partai yang bersaing untuk kekuasaan”DR YUSUF AL-QARADHAWI MEMBOLEHKAN BERDIRINYA LEBIH DARI SATU PARTAI DI NEGARA ISLAM Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Pendapat saya yang telah saya suarakan dari sejak beberapa tahun yang lalu dalam berbagai ceramah umum dan pertemuan khusus adalah, bahwasanya tidak ada larangan syari’at tentang adanya lebih dari satu partai politik di negara Islam, karena larangan syari’at itu pasti membutuhkan adanya nash, dan ternyata tidak ada multi partai ini bisa jadi merupakan suatu hal yang penting pada zaman sekarang ini, sebab ia berperan sebagai katup pengaman dari kediktatoran seseorang atau kelompok tertentu yang berkuasa dan penindasannya terhadap manusia, atau hilangnya kekuatan yang mampu mengatakan “Tidak” kepada manusia atau mengatakan “tidak” atau “Mengapa?” kepada penguasa. Sebagaimana hal itu telah ditunjukkan oleh catatan sejarah dan dibuktikan oleh persyaratan yang ditetapkan agar partai-partai mendapat legitimasi eksistensinya adalah dua hal penting, yaituHarus mengakui Islam, baik sebagai aqidah maupun syari’at serta tidak memusuhi atau menolaknya, meskipun partai-partai itu mempunyai ijtihad khusus dalam pemahamannya di bawah pancaran dasar-dasar pokok ilmiah yang telah berbuat untuk kepentingan kelompok-kelompok yang memusuhi Islam dan umatnya,. apapun nama dan dimanapun demikian, tidak ada satu partai pun boleh didirikan untuk menyeru kepada atheisme, leiberalisme atau anti agama, atau menyerang semua agama samawi secara keseluruhan, atau agama Islam pada khusunya, atau meremehkan kesucian Islam, baik itu aqidah, syari’at, Al-Qur’an maupun Nasbi Shallallahu alaihi wa sallam” [14]Perlu penulis katakan “Jika anda mensyaratkan bagi paartai-partai tersebut untuk mengakui Islam sebagai aqidah dan juga syari’at, tidak memusuhinya atau menolaknya, lalu apa alasan pendiriannya di bawah pemerintahan Islami yang menerapkan syari’at Allah? Karena tujuannya adalah satu, yaitu penerapan syari’at Allah, dan alhamdulillah, hak itu telah berhasil. Lalu, utuk apa lagi keberadaan partai-partai tersebut?Jika Dr Yusuf al-Qaradhawi mengatakan Paratai-partai ini mempunyai perbedaan cara dalam menangani dan mencari solusi bagi berbagai permasalahan beraneka ragam yang menghadang perjalanan negara Islam, baik itu yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik”Menanggapi hal tersebut, dapat penulis katakan “Bahwa hal tersebut tidak mengharuskan pendirian partai-partai yang saling bertentangan yang masing-masing berusaha dengan segala macam cara untuk sampai pada kekuasaan. Cukup didirikan suatu majelis permusyawaratan yang bisa mencarikan jalan keluar yang sesuai bagi berbagai permasalahan negara”.Allah Ta’ala تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ“Dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan” [Al-Anfaal/8 46]Dia juga الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka” [Al-An’aam/6 159]Partai-partai yang pendiriannya diinginkan oleh Dr Yusuf al-Qaradhawi merupakan faktor penting bagi timbulnya perpecahan umat, yang membawa dan menyebarkan beragam pertikaian dan permusuhan serta persaingan duniawi, jika tidak sampai kepada saling ungkapan Dr Yusuf al-Qaradhawi mengenai beberapa persyaratan atas berdirinya partai ”Yaitu, harus mengakui Islam sebagai aqidah maupun syari’at serta tidak memusuhi atau menolaknya, meskipun partai-partai itu mempunyai ijitihad khusus dalam pemahamannya,” maka berarti dia mengisyaratkan kepada para pelaku bid’ah dari kalangan Syi’ah Rafidhah, ibadhiyah, dan semisalnya yang akan diperkenankan mendirikan partai-partai di bawah naungan negara. Dr Yusuf al-Qaradhawi akan menutup mata dari bid’ah yang mereka buat dan perbedaan mereka terhadap yang anda kira, wagau saudaraku, ketika pemerintahan negara Islam dipegang oleh partai penganut Syi’ah Rafidhah, dan apa akibatnya yang akan timbul karenanya?Sudah pasti akan terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Syi’ah Rafidhah, jika mereka sudah menduduki jabatan, maka mereka akan mengangkat kaum kafir sebagai pemimpin dan memusuhi setiap orang muslim yang tidak sejalan dengan pendapat mereka” [15]Perlu penulis katakan “Bagi yang ingin mendapatkan tambahan informasi tentang berbagai dampak buruk dari pendirian partai-partai di negeri Islam, maka hendaklah dia membaca risalah Hukmul Intimaa, karya Syaikh Bakr Abu Zaid dan risalah Al-Hizbiyyah Maa Lahaa wa Maa Alaiha, karya Syaikh Abdul Majd Ar-Riimi.[Disalin dari kitab Al-Qaradhaawiy Fiil-Miizaan, Penulis Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Edisi Indonesia Pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradhawi Dalam Timbangan, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Penerbit Pustaka Imam Asy-syafi’i, Po Box 147 Bogor 16001, Cetakan Pertama Dzulqa’dah 1423 H/Januari 2003] _______ Footnote [1]. Al-Huluul al Mustaurida hal. 77, 78. [2]. Fataazva’Mu’aashirah II/637. [3]. Ibid II/643. [4]. Ibid II/644-645 [5]. Ibid II/646. [6]. HR. At-Tirmidzi, dalam al-Fitan dari `Umar 2166. [7]. Fataawa’ Mu’aashirah II/647-648. [8]. Ibid II/649. [9]. Ibid II/649. [10]. Ibid II/650. [11]. Ibid II/650. [12]. Bagi yang berminat menambah pengetahuan tentang masalah demokrasi ini sekallgus mengetahui sisi-sisi negatif dan keburukannya, hendaklah ia membaca risalah al-Islamiyyuun wa Saraabud Demoqrathiyyah karya `Abdul Ghani telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Fenomena Demokrasi, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam oleh Abdul Ghany bin Muhammad Ar-rahhal -ed, Haqiiqatud Demoqrathiyyah karya Muhammad Syakir asy-Syarif, ad-Demoqrathryyah fil Miizaan karya Sa’id Abdul Azhim dan Khamsuuna Mafsadah jaliyyah min Mafasidid Demoqrathiyyah karya `Abdul Majid ar-Riimi. [13]. Jihaaduna ats-Tsaqafi 54-65. [14]. Fatawa Mu’aashirah II/652-653 [15]. Minhajus Sunnah IV/537
Termaktubdalam Alquran, Begini Fenomena Alam Tentang Kadar Air Hujan. Khazanah 15 Sept 2018. Menelisik Sejarah Islam di Tanah Kelahiran Cristiano Ronaldo. Khazanah 24 Feb 2018. Inilah Bukti-Bukti Cinta Rasulullah SAW kepada Umatnya. Khazanah 19 Jun 2020.
Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut Pandangan Ulama Intelektual Muslim tentang Demokrasi 1. Abul A’la Al-Maududi Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern Barat merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi berdasarkan hukum Tuhan. 2. Mohammad Iqbal Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut a Tauhid sebagai landasan asasi. b Kepatuhan pada hukum. c Toleransi sesama warga. d Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. Baca Juga Memahami Makna, Hikmah, Hakikat Beriman kepada Hari Akhir Memahami Makna, Ayat, dan Hadis Larangan Pergaulan Bebas dan Zina Kisah Dua Malaikat Pencuci Hati Nabi 3. Muhammad Imarah Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif membuat dan menetapkan hukum secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura Islam kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’ legislator sementara manusia berposisi sebagai faqîh yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. 4. Yusuf al-Qardhawi Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 5. Salim Ali al-Bahasnawi Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt.. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugastugas lainnya Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur'an dan Sunnah dan Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. Menerapkan Perilaku Mulia Perilaku demokratis yang harus dibiasakan sebagai implementasi dari ayat dan hadis yang telah dibahas antara lain sebagai berikut 1. Bersikap lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala 2. Menghargai pendapat orang lain 3. Berlapang dada untuk saling memaafkan 4. Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah 5. Menerima keputusan bersama hasil musyawarah dengan ikhlas 6. Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal 7. Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama 8. Menolak segala bentuk diskriminasi atas nama apapun 9. Berperan aktif dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam membangun bangsa Baca Juga yuk 8 Tahap Periode Hari Akhir Yang Harus Kamu Ketahui Jenis Dan Keutamaan Ibadah Haji Memahami Makna Pengendalian Diri, Prasangka Baik, Husnużżan dan Persaudaraan Artikel Terkait Hormat dan Patuh Kepada Orang Tua dan Guru Tips Mempelajari Kerajaan - Kerajaan Islam Di Nusantara Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadis Tentang Ilmu Pengetahuan Pengertian, Hukum, Rukun Dan Syarat Wakaf Pengertian Mawaris atau Kewarisan Dalam Islam ViewPANDANGAN ULAMA INTELEKTUAL AGAMA ISLA 123 at Mulawarman University. PANDANGAN ULAMA INTELEKTUAL MUSLIM OLEH MUHAMMAD IMARAH TENTANG DEMOKRASI Disusun oleh kelompok III 1. IntanKompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Demokrasi Berbicara tentang paham demokrasi itu menarik, banyak negara yang saat ini menganut paham ini. Salah satunya ialah negara kita sendiri yaitu negara Indonesia. Demokratis seringkali disebut-sebut dan dipandang sebagai sistem yang paling adil untuk penyusunan dan penegakan hukum. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dari zaman yunani kuno hingga sekarang, mayoritas teoritikus di bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi. Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-baru ini saja. Pada kesempatan kali ini penulis akan sedikit memaparkan tentang demokrasi dan dan bagaimana pandangan Islam terhadap paham asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau goverment rule the people kata Yunani demos berarti rakyat, kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik didalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan preformansi politik diberbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini. Demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satupun tanggapan yang menolak “Demokrasi” sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana barat dan timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.[1] Pandangan Islam tentang Demokrasi Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru yang sesuai keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan pada hukum Allah SWT. Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada ulil amr pemerintah. Syura Musyawarah terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash dalil tegas atau permasalahan yang memiliki nash namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’ Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktik demokrasi barat.[2]Adapun dasar-dasar musyawarah sebagaimana yang sudah digariskan oleh Al-qur’an dapat dijumpai dalam surah Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi sebagai berikut.“maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjatuhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membetulkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakal kepada-Nya. Qs. Ali Imran [3] 159. Kemudian di dalam surah Asy-Syuura ayat 38 Allah berfirman“Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Tentang siapa yang berhak untuk diajak musyawarah anggota musyawarah Islam tidak ada aturan pasti, oleh karenanya menjadi wewenang manusia untuk menetukannya. 1 2 Lihat Politik Selengkapnya
| ጻаսусуդе և | ሕрխлоμюኇօφ և ևмፄвс |
|---|---|
| Уጪющиց իл ጋпсопс | ቩըлус сዓգωኬθшу |
| Иψ жθցοዦθհ օգ | ቲեգафоτ ፊу թомኄጸոς |
| Ктуሣ ξ և | ጺуዕը ав |
| Т бофխժու | Էልиλаգጽκ яምяγ уբ |
| Ըрошቼզዡγዳк քаգуթεպе | Наруռущθт еጴοхректι |
Democracy is one interrested topic of discussions especially in relation to Islam. Many questions emerge associated with Islam and democracy such as Does Islam has the concept of democracy? Does democracy compatible with Islam? What is the Muslim scholars response to the issue of democracy? This paper will investigates these questions using library research. This study discoveres that there are different opinions among Muslim scholars in relation to democracy some said that democracy is compatible with the Islamic doctrine, another scholars stated otherwise, while the others stand between the two. Islamhas a term that resemble with the term democracy that is shurā, with different principles. In regard to the application of democracy in Indonesia, the majority of Muslim scholars in Indonesia accept positively to the concept of democracy and considered it to be compatible with the Islamic doctrine. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free A. PENDAHULUAN Tema demokrasi adalah salah satu tema yang sampai saat ini masih menarik untuk didiskusikan. Berbagai karya yang mengulas tentang demokrasi telah dihasilkan—baik itu oleh para pemikir Islam maupun Barat. Semenjak kedatangan bangsa Barat ke dunia Islam, dan seiring dengan kemajuan bangsa Barat saat ini, maka sesuatu yang datang dari Barat selalu dijadikan indikator simbol kemajuan. Atas klaim itu sehingga banyak negara merasa penting untuk “mencontoh”—baik secara langsung atau tidak—segala bentuk kemajuan yang pernah dicapai oleh Barat—termasuk di dalamnya tema demokrasi. Di kalangan para intelektual Islam terdapat perbedaan pendapat dalam menanggapi permasalahan demokrasi. Apakah konsep yang mulanya warisan Barat ini dapat sesuai dengan Islam dan bisa diterapkan di negara Islam? Apakah arti demokrasi itu sendiri?. ISLAM DAN DEMOKRASI PANDANGAN INTELEKTUAL MUSLIM DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA Kiki Muhamad Hakiki Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung Jl. Letkol. H. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung 35131, Indonesia E-mail m_hakiki _________________________ Abstract Democracy is one interrested topic of discussions especially in relation to Islam. Many questions emerge associated with Islam and democracy such as Does Islam has the concept of democracy? Does democracy compatible with Islam? What is the Muslim scholars response to the issue of democracy? This paper will investigates these questions using library research. This study discoveres that there are different opinions among Muslim scholars in relation to democracy some said that democracy is compatible with the Islamic doctrine, another scholars stated otherwise, while the others stand between the two. Islamhas a term that resemble with the term democracy that is shurā, with different principles. In regard to the application of democracy in Indonesia, the majority of Muslim scholars in Indonesia accept positively to the concept of democracy and considered it to be compatible with the Islamic doctrine. Keywords Islam; democracy; shurā; Indonesia. __________________________ Abstrak Perbincangan seputar tema demokrasi memang menarik, terlebih jika dikaitkan dengan doktrin agama dalam hal ini Islam. Maka berbagai pertanyaan pun menyeruak; apakah demokrasi mendapatkan tempat yang layak dalam Islam?; apakah pesan-pesan demokrasi sesuai dengan ajaran Islam?; apakah Islam sendiri mempunyai aturan yang sama dengan demokrasi?; dan bagaimana respon para sarjana muslim terhadap isu demokrasi? Pertanyaan-pertanyaan ini-lah yang akan coba disajikan dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini. Dengan penelusuran pustaka, hasil studi menemukan bahwa ada beberapa pesan demokrasi yang sesuai dengan Islam, ada juga yang sebaliknya. Dalam Islam sendiri ada istilah yang hampir dekat dengan istilah demokrasi yakni shurā, akan tetapi keduanya ada perbedaan yang prinsip. Karena itu respon para sarjana Muslim pun beraneka ragam; ada yang menerima secara utuh istilah demokrasi, ada juga yang menentangnya, ada juga yang abu-abu—antara menentang dan menerima. Sedangkan dengan penerapan demokrasi di Indonesia, ternyata umat Islam Indonesia begitu menerima dan berhubungan positif dengan konsep demokrasi yang selama ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam oleh sebagian sarjana Islam. Kata Kunci Islam; demokrasi; shurā; Indonesia __________________________ DOI Received January 2015 ; Accepted December 2015 ; Published February 2016 Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Permasalahan lainnya adalah apakah konsep demokrasi dengan shu>ra> dalam Islam adalah sama? Untuk menjawab permasalahan ini, berbagai kalangan cendekiawan Muslim menyajikan konsepnya yang antara satu dengan lainnya saling berbeda pendapat. Itulah beberapa permasalahan yang akan dicoba dibedah dalam artikel ini. B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengertian Demokrasi Asal kata demokrasi adalah “demos”, sebuah kosa kata Yunani berarti masyarakat, dan “kratio” atau “krato” yang dalam bahasa Yunani berarti pemerintahan. Demokrasi secara etimologis berarti “pemerintahan oleh rakyat” rule by the people. Dilihat dari sejarahnya, pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad sebelum Masehi. Chleisthenes—tokoh pada masa itu—dianggap banyak memberi kontribusi dalam pengemba-ngan demokrasi. Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil. Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi. Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi. “Demokrasi muncul dari pemikiran manusia,” ungkap Aristoteles seorang pemikir termasyhur dari Yunani. Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat, saat Romawi Barat takluk ke tangan suku Jerman. Pada abad pertengahan, Eropa Barat menganut sistem feodal. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama Lawuja Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat. Pada masa itu, muncullah pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti, John Locke dari Inggris 1632-1704 dan Montesquieu dari Prancis 1689-1755. Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika sampai masa renaissance, istilah ini digunakan untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, eksekutif, yudikatif dsb. Sejak dulu, sistem pemerintahan semacam ini ditentang oleh filsuf-filsuf besar. Plato menyifatinya sebagai pemerintahan orang-orang bodoh. Aristoteles menamakan-nya pemerintahan orang-orang miskin tak berkeutamaan. Abu Nasr Al-Farabi dan Ibn Rusyd menyebutnya sebagai kebusukan dalam pemerintahan utama madi>nah fad}i>lah. Salah satu keberatan lain yang cukup kasat mata adalah bahwa sistem ini sama sekali tidak praktis apabila jumlah masyarakat telah membesar. Oleh karena itu, Jean Jacques Rousseau beserta filsuf politik lain me-nyempurnakannya dengan teori demokrasi perwakilan, sistem pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah. Sistem perwakilan ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa banyak cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh mereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang definisi ini maka Abraham Lincoln, salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat, mengatakan bahwa dalam proses demokrasi mengharuskan adanya partisipasi rakyat dalam memutuskan suatu permasalahan dan me-ngontrol pemerintahan yang Sadek J. Sulaiman mengatakan bahwa prinsip dasar demokrasi adalah adanya Ali Nawaz Memon, “Membincang Demokrasi,” dalam Islam Liberalisme Demokrasi, terj. Mun’im A. Sirry Jakarta Paramadina, 2002, 3. Sadek J. Sulaiman, “Demokrasi dan Shura,” dalam Islam Liberal, ed. Charles Khurzman, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi Jakarta Paramadina, 2003, 125. Ia adalah seorang mantan duta besar Oman untuk Amerika Serikat. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 kesamaan antara seluruh manusia. Apa pun bentuk diskriminasi manusia, baik yang berdasarkan ras, gender, agama, status sosial, adalah bertentangan dengan demokrasi. Lebih lanjut ia mengatakan dalam demokrasi ada tujuh prinsip Pertama, kebebasan berbicara. Dalam sistem ini setiap warga negara bebas untuk mengemukakan pendapatnya tanpa harus merasa takut. Dalam sistem demokrasi, hal ini sangat penting untuk mengontrol kekuasaan agar berjalan dengan benar. Kedua, pelaksanaan pemilu. Pemilu ini merupakan sarana konstitusional untuk melihat dan menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau perlu diganti dengan yang lain. Ketiga, kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas. Prinsip ini mengakui adanya hak oposisi suatu kelompok terhadap pemerintah. Keempat, sejalan dengan prinsip ketiga, dalam sistem demokrasi, partai politik memainkan peranan penting, rakyat berhak dengan bebas mendukung partai mana yang lebih sesuai dengan pandangan dan pilihannya. Kelima, demokrasi meniscayakan pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan pemisahan ini akan ada checks and balances, sehingga kekuasaan akan terhindar dari praktik-praktik eksploitatif. Keenam, demokrasi menekankan adanya supremasi hukum. Semua individu harus tunduk di bawah hukum, tanpa memandang kedudukan dan status sosialnya. Ketujuh, dalam demokrasi, semua individu atau kelompok bebas melakukan perbuatan. Karenanya semua individu bebas mempunyai hak milik, tanpa boleh diganggu oleh pihak manapun. 2. Antara Demokrasi dan Shu>ra>Menanggapi permasalahan di atas, kalangan intelektual Muslim saling berbeda pendapat. Sebagian dari mereka memandang demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang identik; sebagian yang lain memandang berbeda yakni demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang saling berlawanan. Sebagian lagi dengan maksud mendamaikan dua kubu yang Sulaiman, “Demokrasi dan Shura.”, 125. berlawanan di atas berpendapat bahwa antara demokrasi dan shu>ra>dalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan, dan tak sedikit juga sisi perbedaannya dengan Islam. Hasil Kongres Amerika pada tahun 1989, memutuskan beberapa kriteria sebuah negara bisa dikatakan demokratis bila; Pertama, didirikan sistem politik yang sepenuhnya demokratis dan representatif berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil; Kedua, diakui secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaan-kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan beragama, berbicara dan berkumpul; Ketiga, dihilangkan semua perundang-undangan dan peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik; Keempat, diciptakan suatu badan kehakiman yang bebas; dan Kelima, didirikan kekuatan-kekuatan militer, keamanan, dan kepolisian yang tidak memihak. Kriteria yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno dan Afan Ghafar. Menurut Franz Magnis Suseno, sebuah negara demokrasi apabila ia memiliki; 1.Negara hukum; 2. Pemerintahan yang berada di bawah kontrol nyata masyarakat; 3.Ada pemilihan umum berkala yang bebas; 4. Prinsip mayoritas; dan 5.Adanya jaminan terhadap hak-hak demo-kratis dasar. Sedangkan menurut Afan Ghafar hampir sama dengan Franz Magnis dengan tanpa menyebutkan beberapa prinsip di atas, sepintas terlihat bahwa konsep demokrasi sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Alquran tentang shu>ra>, tetapi apakah benar kedua istilah ini sama, baik itu dalam konsep maupun aplikasinya. Dalam bagian Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis Jakarta Gaya Media Pratama, 2002, 32. Franz Magnis-Suseno, “Demokrasi Tantangan Universal,” dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban, ed. M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher Jakarta Paramadina, 1996, 127. Afan Ghafar, “Demokratisasi dan Prospeknya di Indonesia Orde Baru,” dalam pengantar Buku Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, ed. Elza Peldi Taher Jakarta Paramadina, 1994, xxvii-xxix. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 selanjutnya akan diuraikan kajian kritis tentang konsep demokrasi dan shu>ra>. Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia dan merupakan satu-satunya isu dan wacana yang mampu menyatukan cita ideal manusia sejagad karena wacana demokrasi mampu melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama, dan kebudayaan. Menanggapi permasalahan ini, kalangan intelektual Muslim saling berbeda pendapat. Mengutip klasifikasi yang dilakukan oleh John L. Esposito dan James P. Piscatori, tanggapan para cendekia-wan Muslim terhadap demokrasi bisa diklasi-fikasikan menjadi tiga kelompok;Pertama, sebagian dari mereka memandang demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang identik akan tetapi terdapat juga perbedaan. Di antara cendekiawan Muslim yang beranggapan seperti adalah Imam Khomeini. Ia mengatakan bahwa di satu sisi Iran menganggap bahwa Tuhan sebagai penguasa mutlak yang semua perintah-Nya harus diikuti, sedangkan di sisi lain sebagai negara republik, Iran memandang perlunya partisipasi rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, seperti lewat pemilu untuk memilih wakil mereka di parlemen, pemilu presiden. Pemerintah Iran merupakan pemerintahan hukum Tuhan atas manusia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi juga dengan parlemen yang bertugas menyusun program untuk berbagai kementerian, dengan kekuasaan tertinggi di tangan seorang Muslim lainnya yang masuk dalam kelompok ini adalah Taufiq al-Syawi dalam bukunya “Fiqh al- Shu>ra> wa al-Istisharah” ia mengatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk shu>ra>versi Eropa. Meskipun begitu, demokrasi tidak sama dengan shu>ra>karena tidak berpegang pada dasar syariat Islam. Menurutnya, John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi,” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam April-Januari, no. 4 1994, 19-21. Riza Sihbudi, “Masalah Demokratisasi di Timur Tengah,” dalam Agama, Demokrasi, dan keadilan, terj. M. Imam Aziz Jakarta Gramedia, 1993, 174. atau lihat Riza Sihbudi, “Bahasa dalam Kelompok Syi’ah, Kasus Vilayat Faqih,” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994, 47-48. demokrasi konvensional sangat rentan terha-dap prilaku diktator, karena demokrasi memungkinkan penguasa melakukan upaya tertentu merebut dan mempengaruhi ke-kuasaan legislatif, lalu menciptakan undang-undang tersendiri yang berfungsi untuk memperluas kekuasaannya. Dengan begitu ia menegaskan bahwa sistem shu>ra>sebenarnya telah melangkah lebih maju ketimbang sistem demokrasi modern, karena sistem shu>ra>mewajibkan para penguasa berpegang pada syariat atau sumber samawi yang lebih tinggi dari penguasa yang tidak memungkinkan mereka mencampurinya, sekalipun pada persoalan yang tidak dijelaskan secara pasti, karena itu wewenang sebagian yang lain memandang berbeda yakni shu>ra>dan demokrasi adalah dua hal yang saling berlawanan dan harus ditolak. Di antara cendekiawan Muslim yang masuk dalam katagori ini adalah Syaikh Fadhallah Nuri, Sayyid Qutub, al-Sya’rawi, Ali Benhadji, Hasan Turabi, Abu> al-A’lâ al-Maudu>di>. Menurut Syaikh Fadhallah Nuri, demokrasi adalah persamaan semua warga negara, dan hal ini menurutnya sangatlah tidak mungkin dalam Islam. Dalam demokrasi, perbedaan yang luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi. Misalnya; antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara yang kaya dan miskin, antara faqih ahli hukum dan penganutnya. Tidak hanya itu, ia juga me-nolak legislasi oleh manusia. Agama Islam menurutnya tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan dan dalam Islam tidak ada seorang pun yang diizinkan me-ngatur hukum. Karena itu, ia menegaskan bahwa demokrasi sangatlah bertentanga dalam mengecam terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Sayyid Qutub, ia mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang Taufiq Al-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, terj. Djamaluddin ZS Jakarta Gema Insani Press, 1997, 21-23. John L. Esposito, Islam dan Politik Jakarta Bulan Bintang, 1990, 118. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 kepada yang lainya. Menurutnya mengakui kekuasaan Tuhan berarti melakukan penen-tangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem dan kondisi. Ia menambahkan bahwa agresi menentang kekuasaan Tuhan adalah bentuk jahiliyah. Ia menandaskan bahwa negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, karena Islam sebagai sebuah sistem hukum dan moral sudah lengkap, sehingga dengan demikian tidak ada lagi legislasi lain yang mengatasinya. Pendapat serupa pula dikatakan oleh Mutawali al-Sya’rawi seorang ulama besar asal Mesir yang mengatakan bahwa Islam dan demokrasi tidak bersesuaian, dan shu>ra>tidak dengan sendirinya demokrasi mayoritas. Ali Benhadji seorang pemimpin FIS Front Islamique du Salut mengatakan bahwa konsep demokrasi adalah sebuah konsep Yudeo-Kristen yang harus diganti dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang inhern dalam Islam. Para teotitisi politik Barat sendiri, kata Benhadji mulai melihat sistem demokrasi adalah sistem yang cacat. Menurutnya demokrasi hanya dinilai baik jika lebih menguntungkan Barat daripada negara Islam itu John L. Esposito dan James P. Piscatori bahwa sebagian umat Muslim mencemaskan model demokrasi Barat serta sistem pemerintahan yang dicanangkan Inggris. Sebenarnya, reaksi negatif tersebut merupakan ungkapan dari penolakan secara redikal terhadap kolonialisme Eropa, dan merupakan pembelaan terhadap Islam dalam usaha mengurangi ketergantungan umat Islam terhadap negara-negara Barat. Ungkapan penolakan terhadap kolonialisme Eropa tadi berakibat pada penolakan terhadap sistem demokrasi sebagian lagi dengan maksud mendamaikan dua kubu yang berlawanan di Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, 48. John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Bandung Mizan, 1999, 214. John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam and Democracy,” Middle East Journal VL, no. III 1991. Atau lihat Fahmi Huwaydi, Al-Isla>m wa al-Demuqra>ti>yah Kairo Markaz al-Ahram, 1993. . atas berpendapat bahwa antara shu>ra>dan demokrasi adalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan. Di antara para cendekiawan yang masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Husein Heikal, Fahmi Huwaidi, Mohammad Taha, Abdullah Ahmad al-Na’im, Bani Sadr, Mehdi Bazargan, Hasan al-Hakim, Amin Rais. Menurut Fahmi Huwaidi, demokrasi adalah sangat dekat dengan Islam dan substansinya sejalan dengan Islam. Argumentasi yag dihadirkan oleh Fahmi Huwaidi adalah; Pertama, beberapa hadits menunjukan bahwa Islam menghendaki pemerintahan yang disetu-jui oleh rakyatnya. Kedua, penolakan Islam kepada kediktatoran. Ketiga, dalam Islam, pemilu merupakan kesaksian rakyat dewasa bagi kelayakan seorang kandidat dan mereka tentu saja seperti yang diperintahkan Alquran. Keempat, demokrasi merupakan se-buah upaya mengembalikan sistem kekhila-fahan Khulafa al-Rashidi>n yang memberikan hak kebebasan kepada rakyat yang hilang ketika beralihnya sistem kekuasaan Islam kepada sistem kerajaan. Kelima, negara Islam adalah negara keadilan dan persamaan ma-nusia di depan hukum. Kelima, suara mayoritas tidaklah identik dengan kesesatan, kekufuran dan ketidaksyukuran. Keenam, legislasi dalam parlemen tidaklah berarti penentangan terhadap legislasi Husein Heikal berpendapat bahwa kebebasan, persaudaraan, dan persa-maan yang merupakan semboyan demokrasi dewasa ini juga termasuk di antara prinsip-prinsip utama Islam. Kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh paham demokrasi sekarang sebenarnya juga merupakan kaidah-kaidah Islam. Mohammad Taha salah seorang pemikir Sudan mengatakan bahwa demokrasi sejajar dengan sosialisme. Keduanya adalah dua sayap masyarakat yang dibutuhkan. Sosialisme merupakan proses mencari kemak-Fahmi Huwaidi, Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani, terj. M. Abdul Ghofar Bandung Mizan, 1996, 193. Muhammad Husein Heikal, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus Jakarta Pustaka Firdaus, 1993, 95. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 muran sosial yang lebih baik, maka demokrasi merupakan proses pembagian kekuasaan yang mesti mendahuluinya. Menurut Taha, demo-krasi bukan akhir dari sebuah tujuan, tetapi sebagai sarana untuk meraih tujuan me-realisasikan martabat manusia. Demokrasi tidak hanya pandangan dari suatu pemerintahan, tetapi juga pandangan hidup, dan demokrasi merupakan pendekatan terbaik bagi usaha pencapaian martabat manusia. Taha menyadari bahwa dalam demokrasi banyak ketidaksempurnaan, meskipun begitu me-nurutnya ketidaksempurnaannya lebih rendah dibandingkan dengan marxisme. Ia menam-bahkan bahwa demokrasi adalah kebalikan dari kediktatoran di mana ia merupakan tipe pemerintahan yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyediakan kesempatan bagi manusia untuk merealisasikan kehormatan dan kemuliaannya. Yang menarik dari pemikiran Taha adalah ia mela-kukan kritik terhadap konsep shu>ra> yang menurutnya shu>ra>bukan-lah ajaran asli Islam tetapi cenderung sebagai sebuah ajaran subsider. Menurutnya musya-warah bukanlah demokrasi, tetapi lebih sebagai aturan di mana individu-individu dewasa menyiapkan negara menuju demo-krasi. Dengan tegas ia menyatakan justru demokrasi adalah merupakan konsep asli Islam. Pandangan apresiatif terhadap demokrasi juga datang dari seorang mantan presiden pertama Iran masa Imam Khomeini yakni Bani Sadr. Ia mengatakan bahwa konsep wilayatul Faqih Imam khomeini yang di-terapkan di Iran hingga sekarang telah memberikan peranan yang terlalu besar kepada ulama dalam urusan kenegaraan, mereka menguasai lembaga perwalian yang memiliki hak veto. Dengan hak seperti itu, maka akibatnya kekuasaan sulit dikontrol dan tingkat partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah, padahal dalam sistem demo-krasi, kontrol terhadap kekuasaan dan adanya partisipasi politik rakyat merupakan dua unsur yang sangat dominan. Pendapat senada pun diungkapkan oleh politisi Iran lainnya yakni Mehdi Bazargan yang mengatakan bahwa Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, 61. demokrasi sebagai kebenaran universal yang tidak perlu terhadap konsep demokrasi juga datang dari Amin Rais yang merupakan salah seorang cendekiawan Indonesia, bahwa ia tidak melihat adanya pertentangan antara Islam musyawarah dengan demokrasi. Hanya saja menurutnya istilah demokrasi dewasa ini telah disalahpahami menurut kepentingan politik rezim yang berkuasa. Lebih lanjut ia mengutarakan tiga alasan penerimaannya terhadap konsep demokrasi; pertama, secara konsep dasar, Alquran me-merintahkan umat Islam agar melaksanakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka. Kedua, secara historis, Nabi mempraktekkan musyawarah dengan para sahabat. Ketiga, secara rasional, umat Islam diperintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka. Salah seorang ulama yang mempunyai pendapat seperti yang terakhir di atas adalah Yusuf Al-Qardhawy, ia mengatakan bahwa secara substansi, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, bahkan ajaran substansi demokrasi telah lama dikenal oleh substansi demokrasi sudah dikenal oleh Islam, akan tetapi rinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang Muslim, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunianya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia. Lantas pertanyaannya adalah apakah substansi dari demokrasi itu sendiri?. Ia menjawab bahwa substansi demokrasi terlepas dari berbagai definisi istilah-istilah akademis adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Dan hal ini tentu saja mereka tidak akan mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak memperhitungkan pemimpin yang Dawam Rahardjo, “Syura,” Jurnal Ulumul Qur’an 1, no. 1 1989, 34. Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terj. Kathur Suhardi Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1997, 184. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika me-nyimpang. Alasan lain diterimanya konsep demokrasi dalam Islam menurutnya karena demokrasi mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya adalah demokrasi telah menuntun ke beberapa bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran. Meski-pun begitu, sistem demokrasi juga tak bisa dilepaskan dari kecacatan dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tak lepas dari kekurangan. Ia menganjurkan bahwa tidak ada salahnya bagi kita untuk mencari alternatif sistem lain yang lebih ideal dan lebih baik, tapi harus lebih mudah diterapkan dalam kehidupan manusia. Karena itu, tak ada salahnya bagi kita untuk me-ngambil sistem demokrasi, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dan shu>ra>,menghormati hak-hak manusia, menghadang langkah para tiran di muka bumi menarik dari pemikiran Yusuf Al-Qardhawy ini di dalam memperkuat argumentasinya adalah dengan memakai kaidah hukum “Apabila yang wajib tidak bisa mencapai sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib”. Dari sinilah kita bisa mengambil tatacara demokrasi dan kandungan-kandungannya yang sesuai dengan diri kita dan kita bisa menyaring dan membenahinya. Jika kita bandingkan pendapat Yusuf Al-Qardhawy di atas dengan pendapat Taqi-yuddin Al-Nabhani sangatlah bertolak belakang. Taqiyuddin Al-Nabhani mengatakan jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya, jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini menurutnya Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, 183. Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, 192-193. kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Pernyataan senada pun dikuman-dangkan oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhu>m Al-’Adalah Al-Ijtima’iyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}iryang menyatakan penolakannya atas penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, teokrasi, atau teo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambi-valensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif dua pendapat di atas yang bertolak belakang, nampaknya keduanya di dalam memandang demokrasi berawal dari persepsi yang berbeda. Yusuf Al-Qardhawy memahami demokrasi dari sisi substansi yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Sedangkan Taqiyuddin Al-Nabhani dan Ihsan Sammarah memandang demokrasi bukan dari pesan yang dibawanya melainkan dari sejarah ke-munculan istilah itu sendiri yakni dari Barat yang tentunya berbeda dengan Islam. Membicarakan tentang apakah konsep demokrasi sesuai atau malah bertentangan dengan Islam memang tidak mudah. Karena bagaimanapun, konsep ini bermula dari Barat yang tentunya mempunyai latar belakang alasan kemunculannya tersendiri. Meskipun begitu, tidak sedikit para ilmuwan Islam yang memandang bahwa konsep demokrasi sesuai dengan konsep Islam. Berbagai istilah yang dikenal dalam Islam kerapkali disama-samakan atau disepadankan dengan pengertian demokrasi, seperti keadilan adl, persamaan musa>wah, musyawarah shu>ra>. Meskipun begitu, tidak sedikit ilmuwan Muslim menolak penyamaan antara demokrasi dengan beberapa istilah di atas dengan alasan bahwa Muslim Taqiyuddin Al-Nabh}ani, Niz}am Al-Isla>m, 2001, 85-86. Ih}sa>n Sammarah, Mafhu>m Al-'Ada>lah Al-Ijtimaiyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}irBairut Da>r Al-Nahd}ah Al-Isla>miyah, 1991, 10-11. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 tidak dibolehkan untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang dinegosiasikan terhadap segala sesuatu yang dipercaya ber-tentangan dengan hukum Allah dan hal ini berbeda dengan demokrasi, apapun boleh dinegosiasikan. Melihat dari kenyataan di atas, maka alangkah baiknya jika kita sedikit berhati-hati ketika membicarakan kaitan antara demokrasi dengan Islam. Untuk memperjelas uraian dua istilah di atas, penulis terlebih dahulu menguraikan istilah shu>ra>dalam Alquran. Kata shu>ra> yang berasal dari kata kerja “shawara-yushawiru” secara etimologis be-rarti menjelaskan, menyatakan atau mengaju-kan dan mengambil sesuatu. Bentuk lain yang berasal dari kata kerja “shawara” adalah ashara memberi isyarat, “tashawara” be-runding, saling bertukar pendapat, “shawir” meminta pendapat, dan “mustashir” me-minta pendapat orang lain. Dari istilah-istilah di atas dapat dimengerti bahwa shu>ra>adalah saling menjelaskan dan merundingkan pen-dapat atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Jika merujuk pada definisi istilah yang tertera dalam kamus “Lisa>n al-Arab” maka kata shu>ra>yang berasal dari kata “sha-w-r” secara etimilogis berarti mengeluarkan madu dari sarang definisi ini, Quraish Shihab memberikann definisi shu>ra>dengan segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain untuk memperoleh kebaikan. Menurutnya hal tersebut semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi shu>ra>sendiri sebenarnya sudah dikenal dan dipraktekkan bangsa Arab pada masa pra-Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Fazlur Rahman bahwa shu>ra>merupakan tuntutan abadi dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Hanya saja Alquran merubah shu>ra>dari sebuah institusi suku yang berlandaskan pada hubungan darah menjadi institusi komunitas yang menekankan prinsip Ibn Manzu>r, Lisa>nul ’Arab, Jilid 4 Beirut Da>r al-Shadr, 1968, 434. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Bandung Mizan, 1996, 469. hubungan iman. Tesis Fazlur Rahman ini mendapatkan argumentasi pembenaran jika merujuk ungkapan Muhammad Yusuf Musa yang mengatakan bahwa masyarakat Arab pemuka Arab kalau mereka tidak diajak untuk bermusyawarah dalam urusan mereka, mereka akan kecewa dan berkecil hati. Hal ini semata-mata dilakukan dalam rangka mem-pererat hungan darah dengan mereka dan menghilangkan rasa kecewa di kalangan merujuk pada penjelasan Alquran, maka kata shu>ra>dapat dijumpai dalam tiga ayat. Pertama Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyu-suan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita keseng-saraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berke-wajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikann pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” QS al-Baqarah 233 Dalam ayat ini diuraikan bagaimana antara suami dan istri diharuskan untuk bermu-syawarah ketika mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak termasuk di dalamnya menyapih anaknya sebelum berumur dua tahun. Kedua Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka men-Muhammad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Jakarta LP3ES, 1985, 49-50. Muhammad Yusuf Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi> al-Isla>m Kairo Da>r al-Katib al-Arabi>, Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 jauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulat-kan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. QS Ali-Imran 159 Asba>b al-nuzu>l ayat ini ketika terjadi perang Uhud yang membawa kekalahan bagi umat Islam, pada waktu itu, Nabi sendiri mengalami luka-luka. Atas kejadian itu, maka turunlah ayat ini dalam rangka memberi pelajaran kepada Nabi dan seluruh umat Islam agar selalu melakukan musyawarah dalam memutuskan sesuatu yang bersangkutan bagi kemaslahatan umat. Ketiga Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan men-dirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. QS al-Shu>ra 42 38 Ayat ini Allah memberikann uraian tentang salah satu ciri seorang mukmin yaitu mendirikan sholat dengan baik dan benar, menafkahkan rizki dengan amanah dan ia selalu bermusyawarah sebelum mengambil keputusan. Ketiga ayat di atas menjelaskan bahwa Islam sangat menganjurkan umat Islam untuk selalu mengedepankan musyawarah terlebih dahulu sebelum memutuskan sebuah perkara. Terbukti dengan dimasukkannya musyawarah sebagai ciri orang yang beriman sebagaimana dalam surat al-Shura ayat 38 di atas. Meskipun Alquran sangat mementingkan musyawarah, akan tetapi Allâh tidak me-nguraikan bagaimana prosedur, bentuk atau tata cara bermusyawarah. Hal ini secara tidak langsung memberikan gambaran kepada manusia bahwa Alquran bukanlah seperti karya ilmiah lainnya yang harus ditulis dan diuraikan dengan sangat mendetail agar tidak terjadi kesalahan pemahaman. Alquran adalah kitab suci petunjuk umat Islam yang bersifat global. Keglobalan tersebut memberikan kesempatan kepada manusia untuk memikir-kan bagaimana prosedur dan mekanisme pe-nyelesaiannya yang sesuai dengan kebu-tuhannya termasuk di dalamnya masalah shu>ra. Penafsiran lain mengapa Alquran tidak memberikan penjelasan secara mendetail tentang shu>ra karena Alquran ternyata menganut prinsip bahwa untuk permasalahan-permasalahan yang sifatnya bisa berkembang sesuai dengan kondisi, budaya, politik, dan ekonomi, maka Alquran tidak mengu-raikannya secara final, akan tetapi hanya menetapkan garis-garis besarnya saja. Langkah ini bertujuan memberikan kesem-patan kepada manusia untuk memikirkan penyelesaiannya secara baik dan sesuai dengan kebutuhannya sejauh tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan yang jelas dilarang dalam Alquran. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian”, atau sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ahmad “Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku rujukannya, dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahui”. Uraian di atas memunculkan permasalahan dalam hal apa sajakah yang harus dimusyawarahkan sebelum mengambil keputusan? Dalam menjawab permasalahan ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian di antara mereka seperti Muqatil, Ibn Abi Rabi’ mengatakan bahwa permasalahan-permasala-han yang harus dimusyawarahkan hanyalah yang berkaitan dengan strategi berperang sesuai dengan penjelasan surat Ali Imran ayat 159 di atas. Kelompok ini nampaknya menafsirkan ayat di atas secara literalis atau harfiah sehingga kejadian atau asba>b al-nuzu>layat di atas menjadi patokan bahwa per-masalahan yang dibolehkan untuk dimu-syawarahkan hanya berkaitan dengan strategi berperang saja tidak pada yang lain. Berbeda dengan pendapat-pendapat ulama di atas, ulama lain seperti Hasan Basri, al-Dahaq mengatakan bahwa permasalahan-Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi>> al-Isla>m. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 permasalahan yang harus dimusyawarahkan hanya khusus terkait pada masalah yang berkaitan dengan urusan duniawi saja bukan dalam permasalahan agama. Alasan mereka adalah bahwa sebenarnya Nabi tidaklah membutuhkan jawaban-jawaban dari saha-batnya, akan tetapi bermaksud mendidik umatnya betapa musyawarah ini merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial politik umat Islam. Pendapat lain, pendapat ulama-ulama modern, yang menga-takan bahwa musyawarah tidaklah dilakukan hanya untuk permasalahan duniawi saja, akan tetapi juga untuk permasalahan keagamaan. Untuk itulah menurut kelompok ini, musya-warah dalam segi apa pun harus dilakukan baik urusan duniawi maupun agama. Kema-juan teknologi, agama pun akan terkena imbas dan tentunya membutuhkan solusi yang tidak bisa ditunda-tunda. Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang lebih masuk akal dan realistis adalah pendapat yang terakhir, yang mengemukakan argumentasi jika perkembangan dan perubahan masyarakat tidak di antisipasi untuk diberikan solusinya secara bersama-sama, maka tidak tertutup kemungkinan umat Islam dengan tidak mem-butuhkan waktu yang lama akan tertinggal jauh. Konsep di atas jika dibandingkan dengan pengertian teori demokrasi sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam demokrasi apa pun boleh dinegosiasikan; dalam demokrasi, semua individu atau kelom-pok bebas melakukan perbuatan, maka kelom-pok yang ketiga di atas secara otomatis mene-rima dan menganggap bahwa pesan-pesan demokrasi sesuai dengan Islam. Meskipun begitu, menurut hemat penulis, bagaimanapun tidak semua permasalahan agama harus dimusyawarahkan. Ada beberapa hal yang tidak layak atau dilarang untuk dimusyawarahkan misalnya dalam hal keimanan, ibadah, seperti tentang pembagian jumlah rakaat shalat dalam setiap waktunya tidak perlu dimusyawarahkan atau ditukar-Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi>> al-Isla>m. tukar sesuai dengan kehendak hatinya karena hal ini sudah baku atau qat}’i. Permasalahan lain yang muncul jika musyawarah dikaitkan dengan negara adalah siapa yang berhak untuk melaksanakan musyawarah dan menentukan kebijakan pemerintah. Quraish Shihab mengutip sebuah hadits Wahai Ali, jangan bermusyawarahah dengan orang penakut, karena dia memper-sempit jalan keluar, jangan juga dengan orang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu, juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan mem-perindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi merupakan bawaan yang sama. Semuanya bermuara pada prasangka buruk kepada di atas memberikan pemahaman bahwa untuk melakukan musyawarah sebaik-nya tidak dilakukan secara sembarang, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk memilih siapa yang layak diajak bermusyawarah. Hadis di atas juga mem-berikan petunjuk bahwa tidak semua anggota masyarakat harus dilibatkan dalam proses musyawarah. Sebagai contoh apa yang pernah dilakukan oleh sahabat Nabi ketika melakukan pemilihan siapa yang layak menjadi pengganti Nabi setelah Nabi meninggal. Pada saat itu tidak semua sahabat Nabi diharuskan untuk berkumpul. Hanya sebagian saja yakni sahabat Nabi yang mempunyai kredibilitas tinggi yang diperkenankan hadir. Di samping itu, dili-batkan juga beberapa utusan kepala dari masing-masing suku. Ini membuktikan bahwa musyawarah tidak dilakukan terhadap semua anggota masyarakat. Hanya mereka yang dianggap layak yang berhak untuk mengikuti musyawarah. Quraish Shihab ketika mengomentari surat Ali Imran 159 mengatakan bahwa sebenarnya ayat ini telah memberikan arahan kepada kita perihal sikap yang harus diperhatikan ketika hendak bermusyawarah. Ia mengatakan, sedikitnya ada tiga sikap yang harus Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 480. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 diperhatikan pertama, adalah sikap lemah lembut. Dalam bermusyawarahah apabila sebagai pemimpin, haruslah ia menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala. Karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan meninggalkannya. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru sebagaimana kalimat ayat tersebut fa’fu ’anhum maafkan mereka. Ketiga, adalah hendaknya selalu menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, dengan cara memohon ampunan Ilahi sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat tersebut dengan kalimat “wa istaghfir lahum”.Jika merujuk pada penjelasan literatur klasik, dijelaskan bahwa mereka yang ditunjuk untuk melakukan musyawarah dalam rangka mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam, disebut oleh Al-Mawardi dengan Ahl al-H{all wa al-Aqdorang yang berhak melepas dan mengikat. Ahl al-H{all wa al-Aqdadalah sekelompok orang yang mempunyai kualitas tinggi dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, dan dijadikan tempat untuk bertanya dan sekaligus merekalah yang ditugasi untuk melakukan musyawarah dalam rangka mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam baik itu dalam permasalahan yang dihadapi negara atau pun rakyatnya. Atau sebagaimana ungkapan Muhammad Abduh yang mengatakan Ahl al-H{all wa al-Aqdsebagai orang yang menjadi rujukan masya-rakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non-formal, sipil maupun yang membedakan antara shu>ra dan demokrasi. Sisi lain perbedaan antara shu>ra dan demokrasi adalah dalam hal pengambilan keputusan. Menurut Quraish Shihab sedikitnya manusia mengenal tiga cara dalam mengambil keputusan pertama, keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. Kedua, keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas. Ketiga, keputusan yang ditetapkan Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 473-475. Dikutip oleh Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 481. berdasarkan pandangan mayoritas. Dari tiga model keputusan ini maka Quraish mengatakan bahwa konsep shu>radalam Islam tidak tepat jika mengambil model yang pertama di atas. Tidak hanya itu, model kedua pun menurutnya tak pantas bagi konsep shu>ra. Ia berkata jika suara minoritas menjadi pilihan, apa keistimewaan pendapat minoritas sehingga menjadi pilihan? Sebagai jawaban-nya ia merasa cocok dengan model ketiga, akan tetapi hal itu tidaklah mutlak. Untuk memperkuatnya, ia mengutip ungkapan Ahmad Kamal Abu al-Majid yang menga-takan bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasarkan pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musya-warah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kata begitu, menurut penulis, dalam konsep shu>ra proses pengambilan keputusan tidak mesti ditentukan dengan suara mayoritas. Ada kalanya suara minoritas justru yang dipilih, hal ini disebabkan mungkin suara minoritas yang lebih tepat untuk dipilih. Kondisi ini pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar. Pada waktu itu Khalifah pernah mengabaikan pendapat suara mayoritas dalam hal sikap terhadap para pembangkang pembayar zakat. Pada saat itu sebagian mayoritas sahabat yang dimotori oleh Umar Ibn Khatab berpendapat bahwa orang-orang yang menolak membayar zakat tetaplah dikatakan Muslim dan tidak boleh diperangi. Akan tetapi Khalifah Abu Bakar pada waktu itu tetap memilih untuk memerangi mereka yang enggan membayar zakat sekaligus meno-lak mereka yang menghendaki untuk tidak memeranginya sebagaimana dimotori oleh Umar. Pendapat Abu Bakar pun kemudian disetujui oleh forum dan realisasi kebijakan Khalifah pun berjalan dalam sejarah. Kondisi penolakan atas suara mayoritas pun pernah dilakukan pada masa Khalifah Umar. Saat itu permasalahan yang menjadi agenda musyawarah adalah perihal harta rampasan perang ghanimah berupa tanah. Pada saat sebagian sahabat menghendaki agar Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 482-483. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 harta yang dimiliki oleh mereka yang kalah berperang dirampas dan kemudian dibagikan kepada mereka yang mengikuti peperangan. Alasan mereka karena cara seperti ini diajarkan oleh Nabi dan juga dipraktekkan pada masa Khalifah Abu Bakar. Kebijakan ini kemudian ditentang oleh Khalifah Umar. Umar dan beberapa sahabat minoritas menghendaki agar harta rampasan itu tidak disita, akan tetapi dikembalikan lagi kepada mereka sebagai pemilik sah dan umat Islam hanya boleh memungut pajaknya saja. Dan pada akhirnya kebijakan Umar pun disetujui oleh semua sahabat dan hal itu terrealisasi juga dalam sejarah. Dari adanya beberapa pendapat di atas, yang terpenting dalam konsep shu>raadalah seberapa besar nilai kebaikan dari pendapat-pendapat tersebut—baik itu dari minoritas maupun mayoritas. Jika ternyata pendapat minoritas yang lebih banyak manfaatnya, maka ia pun menjadi pilihan, begitu sebalik-nya. Inilah menurut penulis di antara sisi perbedaan lainnya dengan demokrasi yang mensyaratkan bahwa hanya suara mayoritaslah yang menjadi pilihan. Begitu pentingnya konsep shu>radalam sebuah negara membuat konsep ini dijadikan oleh Jumhur Ulama sebagai syarat bagi seseorang yang akan diangkat menjadi seorang pemimpin negara. Menurut Jumhur Ulama, proses pemilihan seorang pemimpin negara haruslah dengan jalan musyawarah. Lalu pertanyaannya bagaimana mekanisme menja-lankan musyawarah dalam memilih pemimpin negara dalam dunia realitas. Dalam hal ini para ulama menentukan tiga cara;Pertama, pemilihan secara bebas melalui musyawarah tanpa pencalonan lebih dahulu oleh seseorang. Menurut para ulama, hal ini pernah dicontohkan ketika pemilihan Abu Bakar. Ia dipilih secara bebas tanpa dipersiapkan oleh Rasulullah Saw untuk menjadi penggantinya. Kedua, Khalifah mempersiapkan putra mahkota sebagai penggantinya jika antara keduanya tidak ada hubungan keluarga. Cara Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib Jakarta Logos, 1996, 95-96. ini pernah dicontohkan oleh Abu Bakar ketika memilih Umar. Pengangkatan putra mahkota ini sifatnya pengajuan calon saja dari Abu Bakar dan bukan suatu kemestian. Ketiga, mempersiapkan salah seorang dari tiga orang atau lebih anggota masyarakat yang dipandang terbaik di dalam masyarakat. Dan cara yang ketiga ini nampaknya menjadi pilihan setiap negara di dalam memilih pemimpinnya. 3. Hubungan Islam dan Demokrasi Kasus Indonesia Setelah di atas kita memfokuskan pada kajian seputar makna dari demokrasi dan syura, dan beberapa tipologi pandangan intelektual Muslim terhadap isu demokrasi, pada bagian ini akan coba disajikan potret penerapan demokrasi dengan mengambil sampel kasus di Indonesia. Pengambilan kasus Indonesia dalam hal ini sangat menarik karena dua alasan; pertama, Indonesia dilihat dari kuantitas jumlah adalah penganut agama Islam mayoritas di dunia dibandingkan negara-negara berpenduduk Islam lainnya. Kedua, dalam kasus penerapan demokrasi, Indonesia adalah negara paling berhasil dalam menerapkan isu memotret kasus Indonesia ini, penulis berdasar pada penemuan Saiful Mujani melalui riset disertasinya yang kemudian dibukukannya dengan judul “Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demo-krasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru”.Buku yang ditulis oleh Saiful Mujani ini adalah sebuah bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa Islam atau masyarakat Islam tak sesuai dengan demokrasi atau tak akan bisa mene-rima konsep penerapan demokrasi. Saiful Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Buku ini pada awalnya adalah sebuah disertasi untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu politik dari Departemen Ilmu Politik, di The Ohio State University, Colombus, Amerika Serikat. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Ada banyak ilmuwan yang mengatakan bahwa Islam cenderung akan menolak istilah dan penerapan demokrasi. Di antaranya adalah Samuel P. Huntington yang mengatakan bahwa bila orang Islam berusaha memper-kenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena Islam, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa kegagalan demokrasi di negara-negara Muslim antara lain disebabkan oleh watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme serupa pun dikumandangkan oleh Elie Kedourie. Ia menyatakan bahwa ajaran, norma, kecenderungan, pengalaman keseharian orang Islam telah membentuk pandangan politik kaum Muslimin yang khas dan jauh dari modern. Menurutnya peradaban Islam bersifat unik; kaum Muslim bangga akan warisan masa lalu mereka dan bersikap tertutup terhadap dunia luar. Peradaban seperti ini menurutnya akan menghambat kaum Muslim untuk mempelajari dan menghargai kemajuan politik dan sosial yang dicapai oleh peradaban senada pun diung-kapkan oleh Bernard pandangan di atas yang sedikit menyentil Islam terbantahkan jika kita berkaca pada kasus Indonesia. Berdasarkan riset Saiful Mujani ditemukan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, ternyata masyarakat Islam Indonesia cukup menarik dengan penerapan demokrasinya. Meskipun buku ini tidak bisa secara total menggugurkan teori Elie Kedourie, Bernard Lewis, dan Samuel P Huntington karena masih banyak negara-negara mayoritas muslim lainnya yang cenderung membenarkan pandangan tokoh di atas, akan tetapi minimal kehadiran buku ini bisa sedikit dijadikan cacatan bahwa ternyata Samuel P Huntington, The Clash of Civilizations Remaking of The World Order New York Simon and Schuster, 1997, 112. Elie Kedourie, Democracy and Arab Political Culture Portland Frank Cass, 1994. Bernard Lewis, What Went Wrong ? Western Impact and Middle Eastern Response Oxford Oxford University Press, 2002, 100. ada juga negara yang mayoritas muslim men-dukung secara baik penerapan demokrasi, dan negara itu adalah Indonesia. Jika kita membaca buku ini, istilah demo-krasi dipahami melalui dua cara; sebagai sebuah kompleks budaya politik dan sebagai partisipasi politik. Sebagai sebuah konsep budaya politik, demokrasi mencakup unsur-unsur saling percaya antar sesama warga interpersonal trust, jaringan keterlibatan kewargaan networks of civic engagement, toleransi, keterlibatan politik, kepercayaan pada institusi politik, kepuasan terhadap kinerja demokrasi, dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, dan dukungan terhadap masyarakat politik modern, yakni negara-bangsa nation-state. Sebagai partisipasi politik, demokrasi merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela—mulai dari voting hingga protes—oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan yang ditulis oleh saudara Saeful Mujani ini mencoba membuktikan apakah Islam mempunyai hubungan negatif dengan demokrasi. Ada sekitar sepuluh hipotesis yang akan dibuktikan dalam buku ini; Pertama, “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya kepada orang lain pada umumnya”. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, hipotesis tersebut tidak menemukan pembuktiannya. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan sikap saling percaya pada orang lain pada “semakin Islami seorang Muslim, ia akan semakin cenderung tidak percaya kepada non-Muslim”. Dalam kasus kaum Muslim Indonesia hipotesis ini tertolak. Tidak ada satu pun unsur Islam, kecuali “Islamisme” yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan faktor kepercayaan terhadap non-Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 313. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 117-149. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 315. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Muslim. Baik didefinisikan sebagai keper-cayaan terhadap orang lain secara umum maupun terhadap non-Muslim. Islam secara keseluruhan tidak berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kepercayaan antar sesama warga. Rendahnya kepercayaan antar sesama warga di kalangan Muslim Indonesia tidak memiliki korelasi signifikan dengan “semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin rendah pula keterikatan-nya dalam aktivitas kewargaan yang bersifat sekular”. Hipotesis ini untuk Indonesia tidak meyakinkan. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan jaringan keterlibatan dalam perkum-pulan sekular. Sebaliknya, hampir semua unsur Islam memiliki korelasi positif, signi-fikan, dan konsisten dengan jaringan keter-libatan tersebut. Karena itu untuk kasus Indonesia, Islam ternyata memperkuat, bukan memperlemah, keterlibatan kaum Muslim dalam perkumpulan kewargaan yang bersifat “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran terhadap orang Kristen”. Hipotesis ini jika dilihat secara empirik di lapangan terlihat mempunyai pembuktiannya. Respon bagi kelompok Islamis memiliki korelasi negatif, signifikan dan konsisten dengan sikap toleran terhadap orang Kristen. Akan tetapi untuk kasus ini, Saeful Mujani menyatakan bahwa untuk kasus kaum Muslim Indonesia, Islamisme tidak identik dengan Islam. Karena itu, toleransi dalam hal ini lebih baik diukur dengan sikap toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukai, dan bukan diukur dengan sikap toleran terhadap kelompok tertentu seperti Kristen. Karena dengan pengertian toleransi politik seperti ini, lebih sensitif terhadap persoalan konsolidasi demokrasi. Karena itu klaim bahwa Islam memiliki korelasi negatif Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 315. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 316. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 153-186. dengan konsolidasi demokrasi, karenanya, harus diukur dengan melihat sejauh mana Islam memiliki korelasi negatif dengan toleransi politik secara umum tersebut. Karena itu hipotesisnya adalah; “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukainya”. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini tidak terbukti. Karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan sikap toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukai. Sebaliknya, jaringan keterlibatan dalam per-kumpulan Islam memperlihatkan korelasi yang relatif signifikan dan positif dengan toleransi politik secara “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak terlibat dalam politik”. Untuk kasus ini, Saeful Mujani melihat dari keterilabatn umat Islam dalam mengikuti berita politik; baik melalui media massa, diskusi politik dan perasaan penting-nya menentukan sikap dalam proses politik. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini ternyata juga tidak terbukti secara empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan unsur keterlibatan politik. Sebaliknya, beberapa unsur Islam, seperti ibadah, memiliki korelasi yang signifikan, langsung, konsisten, dan positif dengan keterlibatan politik. Kesim-pulan akhir, justru Islam membantu me-ngintegrasikan para penganutnya dengan sistem demokrasi melalui keterlibatan “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya pada institusi politik”. Dari hasil survai ditemukan bahwa ternyata bahwa tak satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan lemahnya tingkat kepercayaan pada institusi politik. Sebaliknya, Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 317. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 189-217. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 318. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 ada sejumlah indikasi yang menegaskan bahwa Islam memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan kepercayaan pada institusi ini. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa dari sudut pandang stabilitas demokrasi, ternyata tidak ada indikasi bahwa Islam dapat mengakibatkan destabilitasi pemerintahan demokrasi. Justru sebaliknya Islam memiliki kontribusi “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak puas terhadap kinerja demokrasi”. Dari hasil survai ditemu-kan ternyata tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan kepuasan terhadap kinerja demokrasi. Ternyata dari sini dapat disimpulkan bahwa tingkat kesalehan kaum Muslim Indonesia ternyata tidak terkait dengan evaluasi mereka terhadap kinerja demokrasi sebuah “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendukung prinsip-prinsip demokrasi”. Untuk kasus Indonesia, ternyata hipotesis ini tidak terbukti secara empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan Saeful Mujani menemukan bahwa sikap kalangan Islamis pun yang diduga kuat memiliki korelasi negatif, ternyata tidak terbukti. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Islam ternyata mempunyai dan memi-liki potensi untuk memperkuat demokrasi, seperti tentang ijtiha>d, ijma>’, ikhtila>f, dan shu> Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendu-kung negara-bangsa”. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa ternyata hipotesis ini Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 318. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 319. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 221-250. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 320. tidak terbukti secara empiris karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan dukungan terhadap negara-bangsa Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil partisipasi-nya dalam politik, kecuali jika objek dari partisipasinya itu bersifat keislaman”.Dari hasil pengamatan ternyata hipotesis itu tidak terbukti untuk kasus kaum Muslim Indonesia. Karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan partisipasi politik, terlepas dari apa pun objek partisipasinya, entah bersifat keagamaan atau pun non-keagamaan. Kesepuluh,“semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil kemung-kinannya untuk menjadi warga yang setia, dan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi warga yang teralienasi, naif, dan apatis”. Dari hasil survai, hipotesis ini ternyata tidak terbukti. Untuk kasus umat Islam Indonesia, warga negara yang setia dan teralienasi relatif lebih aktif dalam semua bentuk partisipasi politik—yang terlembagakan dan yang tidak terlembagakan, yang konvensional dan yang non-konvensional—dibanding warga negara yang naif dan apatis. Lebih lanjut ia menemukan bahwa dikalangan warga yang setia, tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dengan statusnya sebagai warga yang penelitian di atas, Saeful Mujani menyimpulkan bahwa ternyata tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan satu unsur demokrasi. Keseluruhan proposisi bahwa Islam memiliki korelasi negatif dengan demokrasi jika mengacu pada hasil survai kaum Muslim Indonesia terbantahkan. Berdasarkan data ini, maka pendapat mereka yang menyatakan bahwa Islam mempunyai Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 321. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 253-292. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 323. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 korelasi negatif dengan demokrasi dengan mengacu pada pandangan kaum Muslim Indonesia terbantah atau secara otomatis gugur. C. SIMPULAN Dari uraian di atas, menurut hemat penulis, bahwa antara demokrasi dan shu>rabanyak sekali titik persamaannya meskipun juga ada beberapa celah perbedaannya. Lalu mengapa kita mesti takut menerima konsep demokrasi? Menurut hemat penulis, menolak demokrasi dengan alasan bahwa istilah ini datang dari Barat dan syarat akan muatan misi dan demo-krasi juga dianggap lebih mengusung sisi mayoritas dan meninggalkan minoritas, adalah pendapat yang keliru tidak objektif. Bukan-kah kita telah diajarkan oleh Nabi kita bahwa mencari hikmah boleh di mana saja. Dan hikmah itu mungkin saja datang dari negeri Barat—tidak selamanya dari Timur negara bermayoritas muslim. Sudahkah kita me-nyadari bahwa terkadang kita juga secara tidak disadari bersikap ala demokrasi, seperti dalam masalah mencari argumentasi dalam bidang fikih hukum Islam misalnya. Kita selalu mengatakan bahwa ”hendaklah dalam mencari dan mengikuti sebuah ketentuan hukum selalu berpatokan kepada jumhur ulama atau ma-yoritas pendapat ulama sebagai pegangan”. Jika mereka bersikap seperti ini, berarti mereka juga yang menolak demokrasi secara tidak disadari menjalankan ”ajaran” demo-krasi. Menurut hemat penulis, apakah pendapat ulama yang minoritas itu salah, tentunya tidak atau belum tentu bukan. Karena itu, pemikiran yang bijak haruslah menjadi acuan dan pegangan, baik dalam melihat permasalahan demokrasi atau pun yang kasus umat Islam Indonesia berdasarkan penelitian Saeful Mujani dalam bukunya “Muslim Demo-krat” ternyata umat Islam Indonesia begitu menerima dan berhubungan positif dengan konsep demokrasi yang selama ini dianggap ”mahluk asing” dan bertentangan dengan ajaran Islam. Wallahu a’lam. DAFTAR PUSTAKA Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan Sunnah. Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi. Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1997. Al-Syawi, Taufiq. Syura Bukan Demokrasi. Diterjemahkan oleh Djamaluddin ZS. Jakarta Gema Insani Press, 1997. Al-Nabh}ani, Taqiyuddin. Niz}am Al-Isla>m. 2001. Esposito, John L. Islam dan Politik. Jakarta Bulan Bintang, 1990. Esposito, John L., dan James P. Piscatori. “Islam and Democracy.” Middle East Journal VL, no. III 1991. ———. “Islam dan Demokrasi.” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam April-Janu, no. 4 1994. Esposito, John L., dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Bandung Mizan, 1999. Ghafar, Afan. “Demokratisasi dan Prospeknya di Indonesia Orde Baru.” Di Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, diedit oleh Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, 1994. Heikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka Firdaus, 1993. Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations Remaking of The World Order. New York Simon and Schuster, 1997. Huwaidi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani. Diterjemahkan oleh M. Abdul Ghofar. Bandung Mizan, 1996. Huwaydi, Fahmi. Al-Isla>m wa al-Demuqra>ti>yah. Kairo Markaz al-Ahram, 1993. Kamil, Sukron. Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis. Jakarta Gaya Media Pratama, 2002. Kedourie, Elie. Democracy and Arab Political Culture. Portland Frank Cass, 1994. Lewis, Bernard. What Went Wrong ? Western Impact and Middle Eastern Response. Oxford Oxford University Press, 2002. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Maarif, Muhammad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta LP3ES, 1985. Magnis-Suseno, Franz. “Demokrasi Tantangan Universal.” Di Agama dan Dialog Antar Peradaban, diedit oleh M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, 1996. Manzu>r, Ibn. Lisa>nul ’Arab. Jilid 4. Beirut Da>r al-Shadr, 1968. Memon, Ali Nawaz. “Membincang Demokrasi.” Di Islam Liberalisme Demokrasi, diterjemahkan oleh Mun’im A. Sirry. Jakarta Paramadina, 2002. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru,. Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007. Musa, Muhammad Yusuf. Niz}a>m al-H{ukm fi>>> al-Isla>m. Kairo Da>r al-Katib al-Arabi>, Rahardjo, Dawam. “Syura.” Jurnal Ulumul Qur’an 1, no. 1 1989. Sammarah, Ih}sa>n. Mafhu>m Al-'Ada>lah Al-Ijtimaiyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}ir. Bairut Da>r Al-Nahd}ah Al-Isla>miyah, 1991. Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Alquran. Bandung Mizan, 1996. Sihbudi, Riza. “Bahasa dalam Kelompok Syi’ah, Kasus Vilayat Faqih.” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994. ———. “Masalah Demokratisasi di Timur Tengah.” Di Agama, Demokrasi, dan keadilan, diterjemahkan oleh M. Imam Aziz. Jakarta Gramedia, 1993. Sulaiman, Sadek J. “Demokrasi dan Shura.” Di Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta Paramadina, 2003. Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta Logos, 1996. ... Furthermore, Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world. It is a model for other countries that Indonesia is a country with a Muslim majority that can maintain peace and democracy, while Indonesia is not a country based on Islamic law 1. Even when referring to Hillary Clinton's statement "Learn Islam to Indonesia", it shows that Indonesia can be an example of how the existence of the majority of Muslims can maintain the pluralism of peace of life as a nation and state, when compared to other countries that have a majority Muslim population and even countries based on Islamic law 2. ...Nahdliyatul Islamiyah Muhammad Turhan YaniThis study aims to determine the implementation of democracy in the Student Activity Unit of the Islamic Spiritual Activity Unit, State University of Surabaya. In this organization not only examines the religion of Islam but also applies the values of democracy applied in the Indonesian state. Democracy implies the meaning of power which is essentially the people who hold the highest mandate in democracy. The essence of democracy is of the people, by the people and for the people. Judging from the meaning of the word democracy, it is clear that the people play an important role. However, in practice it can be understood and implemented differently, even development is very uncontrolled. In the UKKI UNESA organization, it should be in line with the values that exist in democracy and the creation of freedom and deliberation to reach consensus. The research method used is qualitative. Data collection techniques used are interviews, observation, and documentation. Informants in this study were the general chairman, functionaries, and members. The conclusion of this study is that the implementation of democratic values in the organization of the Islamic Spiritual Activity Unit is in line with the principles of Pancasila democratic values which refers to Cipto's theory in journal Aulawi, A., & Srinawati 2019, although it is not perfect yet. The results of this study are expected to be useful and contribute to balancing thoughts on the application of democratic values and can add to the treasures of thoughts for writers and readers in general regarding democratic values. Keyword Democracy, Organization, DiscussionMuhamad Ferdy FirmansyahIndonesian democracy from every period of government will continue to experience development towards maturity. In the life of the state, corruption cannot be separated. The role of political institutions and democratic maturity is very large in eradicating corruption, collusion and nepotism. This study uses secondary data, with used the Indonesian Democracy Index IDI and the Anti-Corruption Perspectives Index Indeks Persepsi Anti-Korupsi/IPEK which is sourced from the Indonesian Central Statistics Agency. Data processing using multiple linear regression statistical analysis. The Indonesian Democracy Index consists of variables of the role of the DPRD, the role of political parties, the role of the local government bureaucracy and the role of an independent judiciary. It was found that the role of DPRD has a significant positive effect on IPAK, the role of political parties has a significant negative effect on IPAK, the role of local government bureaucracy is significant positive and the role of an independent court is not significantly negative for IPAK. It is hoped that to improve the social community that is aware on anti-corruption, it is necessary to increase the role of the DPRD and the role of the local government bureaucracy in accordance with their duties and functions in the government together to eradicate corruption and form a new culture oriented towards the prevention and eradication of FajarThis studyattempts to analysethe relationship between Islam and democracy objectively with logical rational arguments. It aims to clarify the differences between Islam and democracy in terms of values and concepts, in addition to explaining the reasons for the rejection of some Muslims against democracy and the arguments underlying their rejection. Then, itattempts to draw a theoretical relationship between Islam and democracy by asking critical questions, logical assumptions, and arguments that rely on the empirical practice of implementing democracy in Indonesia. Islam and democracy were born from two different ontological areas. Islam as a religion is believed to be sacred and absolute truth because ontologically its teachings come from God. While the democratic political system was born from the historical trajectory of human cultural development, it means that democracy is profane secular, and the truth is contextual perspective of the status quo of Muslim elite power politics. The concept of democracy in terms of genealogy, values, and orientation is not entirely the same as Islamic teachings, but it is not denied that Islamic teachings are in many respects substantially in line with the concept of democracy. Thus, Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, so it is fitting for Indonesian Muslims to become enforcers of democracy based on human religious values. That is a model of democracy that not only provides a place for the growth of people's beliefs or religiosity, but also provides space for the realization of human rights. Therefore, democracy as a concept, in its implementation, of course, must be adapted to the context and culture of the local community, especially Islamic communities such as in Indonesia and in the Middle Rusdi MuhammaddiahRachid Ghannouchi merupakan salah satu tokoh politik Islam terkemuka di Tunisia. Berbagai ide dan gagasannya terangkum dalam Partai politik yang telah didirikannya yang berhaluan kepada nilai dan ajaran Islam yang diberi nama Partai en-Nahda. Belum lama ini, partai yang dipimpin oleh Rachid Ghannouchi tersebut telah mengumumkan fase baru dalam perpolitikannya yaitu dengan mengusung konsep Islam Demokratis al-Islam al-Dimuqratiyah yang sejatinya belum dikenal di negara tersebut dan diklaim merupakan bagian dari ideologi partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tulisan ini bertujuan untuk melihat langkah yang telah diambil oleh Ghannouchi melalui konsep Islam demokratis al-Islam al-Dimuqratiyah, bagi umat Islam ide non-konvensional Ghannouchi ini dipandang sebagai sesuatu yang baru dan tepat untuk zaman demokrasi modern, khususnya dari epistimologi Islam Politik’ konvensional ke paradigma yang lebih ekslusif dan sesuai dengan realita perpolitikan modern. Hanif Aidhil AlwanaLaw is the result of Fuqaha's ijtihad regarding an act of mukallaf, in its understanding Islamic law is derived from the al-Quran and Sunnah. Although the existence of the al-Qur`an and the Sunnah is not in doubt, the understanding of law from these sources often experiences ikhtilaf differences of opinion, besides this the risk of causing divisions in society, these problems are influenced by schools of legal thought. This paper will describe the history of these schools of thought and their relevance in establishing law. The method used was descriptive analysis, with a qualitative approach based on the content content analysis of previous writings. In this paper, it is found that the difference in legal opinion is influenced by the way of thinking of the mujtahid which is divided into mutakallimin schools which are identical to understanding the legal text; fuqaha with the style of rules and legal reasons extracted from the law-making text syari` or also termed a contextual style; and a combination that seeks to combine the two types of legal understanding, this gives birth to different legal features. This is the scientific treasure of Islamic law which must be developed in the future to always exist in answering legal problems in the Ulfah Ridho Al-HamdiABSTRAK. Penelitian ini membahas tentang evaluasi Peraturan Daerah Perda Nomor 10 Tahun 2007 tentang ketertiban sosial di Kabupaten Banjar. Selain itu, studi ini ingin mengetahui faktor-faktor yang mendukung keberhasilan dan kegagalan penerapan Perda ini. Secara metodologis, studi ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan wawancara mendalam. Untuk mengukur evaluasi Perda, studi ini enam indicator efektifitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatan. Temuan studi ini menunjukkan, bahwa dari enam indikator, hanya satu indikator saja yang dianggap berhasil yaitu indikator perataan. Sementara itu, lima indikator lainnya bisa dipastikan tidak berhasil. Hal ini menjadi dasar bagi kesimpulan studi ini, bahwa kebijakan tentang ketertiban sosial ini dapat dikategorikan gagal. Sejumlah faktor turut mempengaruhi kegagalan penerapan Perda ini yaitu efektifitas, kecukupan, dan perataan. Karena itu, kinerja pemerintah harus lebih serius lagi dalam menyelesaikan persoalan tersebut serta tidak pandang bulu dalam memberantas segala perilaku masyarakat yang bertentangan dengan ketertiban sosial sesuai Perda tersebut. Kata Kunci Evaluasi; Ketertiban Sosial; Peraturan Daerah Syariah; Kabupaten BanjarSyaiful BahriSome issues in various classical political fiqh literatures are irrelevant if applied in the current context. This paper discusses how important the reconstruction and renewal of several issues in classical political fiqh is adapted to the plural Indonesian context. In this study, the author uses the Maqasid al-Shariah theory and Ahmad ar-Raisuni’s thinking which specifically addresses political issues as the main frame of analysis. By conducting a library study, this study concludes that several issues in classical political fiqh are indeed irrelevant to the times, and therefore need to be updated and reviewed. In additions, this study also has resulted in a new construction of Indonesian political fiqh which formulated in four crucial issues democracy, state format, criteria for leaders in Indonesia, and application of Islamic Law Shariah.Beberapa isu dalam pelbagai literatur Fiqh Siyāsah klasik sudah tidak relevan jika diterapkan dalam konteks saat ini. Tulisan ini mendiskusikan bagaimana pentingnya melakukan rekonstruksi dan pembaruan terhadap beberapa isu dalam Fiqh Siyāsah klasik disesuaikan dengan konteks Indonesia yang plural. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori Maqāsid al-Shariah dan pemikiran Ahmad ar-Raisuni yang secara spesifik membahas persoalan politik siyāsah sebagai pisau analisis utamanya. Dengan melakukan studi kepustakaan, kajian ini menghasilkan kesimpulan bahwa beberapa isu dalam literatur Fiqh Siyāsah klasik memang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, dan sebab itu perlu dilakukan pembaruan dan tinjauan ulang. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan konstruksi baru Fikih Politik Indonesia yang dirumuskan dalam empat isu krusial demokrasi, bentuk Negara, kriteria pemimpin di Indonesia, dan penerapan syariat Islam. Toto SuhartoThe study of radicalism among students of State Islamic Institutes shows a significant increase within the recent decade. This article attempts to analyze the level of moderate understanding of the students of the State Islamic Institute IAIN Surakarta. The survey involves 100 students. The past educational background of each student has been deeply explored to figure out the basics of religious understanding they hold. The qualitative and quantitative designs were employed to measure the level of students" understanding of moderate Islam. This study finds that the students of IAIN Surakarta hold the moderate understanding of Islamic teachings. The number reaches 87%. The majority of moderate respondents are graduated from madrasah and pesantren. This is so because pesantren and madrasah, they graduated from, put a strong emphasis on cultivating moderate religious doctrines. This is different from that of general high school graduate students in which they learn the Islamic doctrines from Rohani Islam Rohis. It has been found that the Rohis commonly hold radical and intolerant religious doctrines. This is understandable since the Rohis tends to understand Islamic doctrines textually and scripturally; different from that of Islamic teachings promulgated by pesantren and madrasa. Mokhamad SukronFalsehood bidah becomes an interesting study for Moslem scholars especially on the matters of worship and ritual practices. The committee of tarjîh al-Qur’ân justifies falsehood by referring to H{adith used as the guide and method. The interpretative result toward the h}adith causes different perspective among Moslem scholars. There are three important points that will be elucidated in this article first what method uses MTA in conceiving h}adith in relation with falsehood, second how MTA perspective of bidah, and third is re-construction the h}adith bidah according to MTA. MTA explains that what is called bidah in prophet’s h}adith is bidah in the matter of religion worship that certainly misleading. Yet, the falsehood in relation with worldly matter for MTA must be given a space to branch out as long as it gives positive impact and push people creativity in general meaning. It is suitable with prophet’s h}adith said that “man sanna sunnah h}asanah..... man sanna sunnah sayyiah...”. In this condition, MTA indirectly admits the variant of the bidah. But the ordinary classification differs with the ulama’s classification either in terms of mutaqadimîn or muta’akhirîn, in general point of view, otherwise the classification is in contrary with the religious matters and worldly Tantangan UniversalFranz Magnis-SusenoMagnis-Suseno, Franz. "Demokrasi Tantangan Universal." Di Agama dan Dialog Antar Peradaban, diedit oleh M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta ParamadinaSadek J SulaimanSulaiman, Sadek J. "Demokrasi dan Shura." Di Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta Paramadina, 2003. Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta Logos, Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka FirdausMuhammad HeikalHuseinHeikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka Firdaus, di Negara-Negara MuslimJohn L EspositoJohn O DanVollEsposito, John L., dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Bandung Mizan, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 17Bahasa dalam Kelompok Syi'ah, Kasus Vilayat Faqih Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran IslamRiza SihbudiSihbudi, Riza. " Bahasa dalam Kelompok Syi'ah, Kasus Vilayat Faqih. " Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994.Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan SunnahYusuf Al-QardhawyAl-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan Sunnah.
n2ILVE7.